jodoh, takdirkah?

oleh: mu’afa abdurrozzaaq

Tanya:
Bagaimana syara’ memandang masalah jodoh? Apakah jodoh merupakan bagian dari Qadha’ (takdir) yang telah ditetapkan Allah sejak Zaman Azali ataukah ia muamalah biasa sebagaimana jual beli perkontrakan dan sejenisnya? Bagaimana menyikapi ungkapan yang populer di masyarakat bahwa rezeki, ajal dan jodoh semuanya ditangan Tuhan,dan manusia hanya bisa mengusahakan, sementara keputusan akhir tetap di tangan Allah?

Jawab:
Lafadz “jodoh” adalah kata yang dipakai dalam bahasa Indonesia untuk menunjuk makna tertentu. Lafadz ini berbeda dengan lafadz suami, istri, pasangan hidup atau yang semisal dengannya. Lafadz jodoh menurut kamus bahasa Indonesia adalah “pasangan yang cocok” baik bagi laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu lafadz jodoh memiliki makna yang lebih spesifik dari lafadz suami, istri, atau pasangan hidup, sebab di sana terdapat penjelasan sifat lebih khusus dari sekedar pasangan hidup. Dalam bahasa Arab, kata yang bermakna “jodoh” seperti yang terdapat dalam bahasa Indonesia tidak ditemukan. Para Fuqaha’ ketika membahas hukum pernikahan hanya menyebut istilah ( زَوْجٌ ) atau( بَعْلٌ ) untuk suami, dan ( زَوْجَةٌ ) atau ( امْرَأَةٌ ) untuk istri, yakni istilah-istilah yang berkonotasi “netral” tanpa ada penekanan sifat tertentu sebagaimana kata suami, istri, atau pasangan hidup dalam bahasa Indonesia.
Adapun makna jodoh yang menjadi topik diskusi di sini adalah “orang atau individu tertentu yang akan menjadi pasangan hidup kita”, dengan titik diskusi: Apakah Allah telah menentukan dalam Lauhul Mahfudz, sebelum manusia dilahirkan bahwa ia akan dipasangkan dengan individu tertentu ataukah tidak? Artinya apakah Allah sudah mentakdirkan dalam Azal bahwa A akan dipasangkan dengan B, C dipasangkan dengan D, ataukah tidak?
Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu harus dilakukan studi yang mendalam terhadap nash-nash yang terkait dengan topik tersebut berdasarkan Al-Qur’an dan as-Sunnah atau dalil yang ditunjuk keduanya seraya mengesampingkan semua dasar yang tidak terkait dengan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah baik ia berupa adat, tradisi, pameo, peribahasa, dsb.
Hanya saja, pembahasan tentang jodoh termasuk perkara Qadha’ atau bukan tidak boleh dicampur adukkan dengan pembahasan keimanan bahwa Allah adalah ( اْلمُدَبِّرُ ) (Maha Pengatur). Sebab, pembahasan “jodoh termasuk perkara Qadha’ atau bukan” adalah satu hal, sementara pembahasan tentang keimanan bahwa Allah bersifat ( اْلمُدَبِّرُ ) adalah hal yang lain. Masing-masing adalah topik tersendiri yang harus dibahas berdasarkan nash-nash yang terkait dengan topik itu. Mencampur adukkan dua topik pembahasan ini adalah langkah keliru karena bertentangan dengan fakta pembahasan, sebagaimana bisa berakibat kekacauan terhadap pemahaman. Dengan demikian dua macam pembahasan itu harus dipisahkan.
Tinjauan sekilas terhadap persoalan jodoh menunjukkan bahwa persoalan ini adalah termasuk masalah aqidah, sebab kepercayaan bahwa Allah mentakdirkan A berpasangan dengan B, C berpasangan dengan D, atau Allah tidak mentakdirkan itu adalah jenis keyakinan, bukan amal. Efek pembahasan yang paling akhir adalah membentuk keyakinan tertentu seputar persoalan tersebut, bukan membahas apa yang harus dikerjakan oleh seorang mukallaf. Dengan demikian masalah jodoh adalah masalah aqidah, bukan syariat dan dalam masalah ini pambahasan tersebut tidak ada bedanya dengan pembahasan tentang rezeki, ajal, Dajjal, siksa kubur, dsb.
Dalam persoalan aqidah, seorang Muslim harus mendasarkan semua kepercayaannya atas dalil yang shohih. Tidak diperkenankan seorang Muslim memiliki keyakinan tanpa ada dalil., yakni sekedar menduga-duga atau mengikuti umumnya kata orang. Dalil itupun harus bersifat ( قَطْعِيٌّ ) (pasti), tidak boleh bersifat ( ظَنِّيٌّ ) (dugaan). Meskipun ada Qorinah (indikasi) yang menunjukkan pada keyakinan tertentu, selama dalil itu bersifat ( ظَنِّيٌّ ) tidak boleh seorang Muslim mengambilnya sebagai aqidah. Allah telah mencela keras orang-orang kafir yang memiliki keyakinan bahwa para Malaikat itu berjenis kelamin wanita:

“Sesungguhnya orang-orang yang tiada beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan Malaikat itu dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.”(An-Najm;27-2
artinya orang-orang kafir itu punya keyakinan bahwa Malaikat berjenis kelamin wanita tetapi mereka tidak memiliki bukti (dalil) atau argumentasi untuk menguatkan keyakinannya.
Keyakinan mereka hanya didasarkan pada dugaan ( ظَنٌّ ), padahal dzon itu sama sekali tidak ada nilainya untuk membuktikan ( الْحَقُّ )
Dari sini bisa difahami, bahwa langkah yang harus dilakukan untuk menjawab persoalan jodoh adalah mencari dalil yang menunjukkan bahwa Allah telah menetapkan pasangan hidup manusia sebelum mereka diciptakan. Dalil itupun harus bersifat ( قَطْعِيٌّ ) baik ( قَطْعِيُّ الثُّبُوْتِ ) (pasti sumbernya) maupun ( قَطْعِيُّ الدَّلاَلَةِ ) (pasti penunjukan maknanya).
Setelah dilakukan kajian terhadap persoalan ini, nyatalah bahwa tidak ada nash baik dalam al-Qur’an mapun as-Sunnah, juga Ijma’ sahabat dan Qiyas yang menunjukkan bahwa Allah menetapkan calon pasangan seseorang. Bahkan nash-nash yang ada menunjukkan bahwa persoalan ini adalah masalah mu’amalah biasa yang berada dalam area yang dikuasai manusia. Artinya persoalan menentukan pasangan hidup adalah hal yang bersifat pilihan, yang manusia bertanggung jawab di dalamnya dan dihisab atasnya. Dalil yang menunjukkan bahwa menentukan pasangan hidup adalah pilihan manusia adalah:

Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat (An-Nisa;4).

Lafadz ( فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ ) begitu jelas menunjukkan bahwa setiap Muslim dipersilahkan memilih calon istrinya. Alasannya, ketika Allah memubahkan untuk menikahi wanita-wanita yang ( طَابَ ) (manis, enak, lezat, menyenangkan) bagi mereka, dan tidak mencela lelaki yang tidak mau menikahi wanita karena merasa kurang mantap, baik karena fisik maupun sifatnya, ini semua menunjukkan bahwa persoalan ini adalah persoalan pilihan ( اخْتِيَارِيٌّ ) bukan Qadha’.
Dalil lain yang mendukung adalah kenyataan bahwa syara’ memberikan hak menentukan calon suami sebagai hak penuh kaum wanita, yang tidak boleh ada intervensi dari siapapun meski itu ayah, ibu, paman, musyrif, atau khalifah sekalipun.

عن بن بريدة عن أبيه قال جاءت فتاة إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقالت ثم إن أبي زوجني بن أخيه ليرفع بي خسيسته قال فجعل الأمر إليها فقالت قد أجزت ما صنع أبي ولكن أردت أن تعلم النساء أن ليس إلى الآباء من الأمر شيء. (رواه ابن ماجه)
Dari Ibnu Buraidah dari ayahnya dia berkata: Seorang gadis datang kepada Nabi Saw. Kemudian ia berkata: Sesungguhnya ayahku menikahkan aku dengan putra saudaranya untuk mengangkat derajatnya melalui aku. Maka Nabipun menyerahkan keputusan itu pada gadis tersebut. Maka gadis itu berkata: Aku telah mengizinkan apa yang dilakukan ayahku, akan tetapi aku hanya ingin agar para wanita tahu bahwa para ayah tidak punya hak dalam urusan ini. (H.R.Ibnu Majah dan An-Nasa’i)

Dalam hadis di atas, Nabi memberi kebebasan penuh pada gadis tersebut untuk memutuskan apakah melanjutkan pernikahannya ataukah membatalkannya. Ini menunjukkan bahwa menentukan calon suami adalah hak penuh bagi wanita dan merupakan pilihan dia semata-mata.
Dalil lain yang mendukung adalah adanya syari’at talak. Talak adalah pembubaran akad nikah. Syari’at talak memungkinkan seseorang yang menjadi pasangan hidup orang lain untuk berpisah pada satu waktu tertentu dengan sebab-sebab tertentu. Karena itu mustahil dikatakan bahwa seseorang sudah dipasangkan dengan orang tertentu jika ternyata syara’ memberikan suatu mekanisme untuk membubarkan akad nikah.
Lebih dari itu studi terhadap akad-akad yang diatur dalam syari’at Islam menunjukkan bahwa semua akad yang disana terdapat Ijab dan Qabul adalah mu’amalah yang berada dalam area yang dikuasai manusia. Dengan demikian jual-beli, Ijarah, Wakalah, Syirkah, dan semisalnya adalah termasuk perkara mu’amalah yang berada dalam area yang dikuasai manusia. Manusia akan dimintai pertanggung jawaban dalam aktivitas itu. Jika ia melakukan jual-beli, Ijarah, Wakalah, dan Syirkah, dengan cara yang syar’i maka ia bebas dari hukuman, tetapi jika ia melakukannya dengan cara batil maka ia akan dijatuhi hukuman. Demikian pula masalah menentukan pasangan hidup. Jika seorang wanita Muslimah memutuskan menikah dengan orang kafir maka ia akan dihukum, sebaliknya jika ia menikah dengan lelaki yang dihalalkan syara’ maka ia bebas dari hukuman.
Adapun ayat yang berbunyi

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri (Ar-Rum; 21)

“Dan Kami menciptakan kalian berpasang-pasangan” (An-Naba’:

juga termasuk ayat-ayat yang semisal dengannya, maka ayat ini sama sekali tidak terkait dengan masalah jodoh, dan tidak ada Qorinah apapun yang menunjukkan bahwa Allah menetapkan A menikah dengan B, C menikah dengan D, baik secara ( صَرَاحَةٌ ) (jelas) maupun ( دَلاَلَةٌ ) (penunjukan makna). Tidak hanya itu, secara Manthuq dan Mahfum ayat ini tidak bisa difahami sebagai ayat jodoh, sebab Sighot (redaksional) ayat serta ( مَوْضُوْعٌ ) (topik pembahasan) memang tidak menunjuk ke arah sana. Maksud dari diciptakannya manusia berpasang-pasangan tidak lain adalah bahwa manusia terdiri dari jenis laki-laki dan perempuan yang dengannya Allah memperkembangbiakkan spesies manusia di muka bumi, bukan ditetapkannya bahwa A akan menikah dengan B atau C akan menikah dengan D.
Adapun ayat yang berbunyi
Khobitsat adalah untuk Khobitsun, dan Khobitsun adalah buat Khobitsat (pula), dan Thoyyibat adalah untuk Thoyyibun dan Thoyyibun adalah untuk Thoyyibat (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga) (An-Nur; 26)

maka ayat ini juga bukan ayat jodoh. Sebab As-babun Nuzul dari ayat ini adalah terkait dengan (حَدِيْثُ اْلإِفْكِ ) yakni peristiwa tuduhan atas Aisyah yang diisukan berbuat serong dengan seorang sahabat yang bernama Shofwan bin Mu’ath-thol. Karena itulah para mufassirin ketika menafsirkan ayat ini, mereka menukil penafsiran Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa yang dimaksud ( الْخَبِيْثَات ) dalam ayat ini adalah ucapan-ucapan yang buruk. Artinya ucapan-ucapan yang buruk (diantaranya adalah memfitnah wanita baik-baik berbuat zina) hanya akan muncul dari orang-orang yang buruk, yakni orang-orang munafik atau orang-orang yang hatinya ada penyakit. Bukannya orang shalih pasti akan menikah dengan wanita shalih dan lelaki shalih akan menikah dengan wanita shalihah. Karena itu wajar jika diceritakan dalam al-Qur’an bahwa Nabi Luth a.s beristri wanita yang tidak shalihah sebagaimana istri Fir’aun yang shalihah bersuami Fir’aun yang kafir. Hal ini dikarenakan urusan pernikahan adalah mu’amalah biasa bukan sesuatu yang telah ditetapkan sebagai mana rizki dan ajal. Jadi ayat ini tidak sah digunakan sebagai dalil bahwa persoalan jodoh adalah sesuatu yang ditakdirkan, atau Allah telah menentukan “kaidah umum” dalam pengaturan jodoh seseorang.
Dari sini bisa difahami, bahwa jodoh bukanlah perkara yang sudah ditetapkan di Lauhul Mahfudz, tetapi ia adalah mu’amalah biasa sebagaimana mu’amalah yang lain, yang berada di area yang dikuasai manusia dan manusia dihisab atasnya.
Namun pemahaman bahwa jodoh adalah sesuatu yang berada dalam area yang dikuasai manusia bukan berarti pengingkaran bahwa Allah adalah ( اْلمُدَبِّرُ ) yang bersifat Maha Mengatur dan ( الْحَاكِمُ ) yang Maha Memutuskan. Setiap Mukmin ketika melaksanakan suatu aktivitas dalam area yang dikuasainya kemudian ternyata apa yang terjadi di luar harapannya dan di luar dugaannya, maka ia harus ridlo terhadap hal itu dan mengimani bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Mengatur.
Sebagai contoh: Seorang Muslim hendak naik haji dan sudah menyiapkan semua biaya dan bekal kemudian secara tiba-tiba Allah memberinya sakit. Pada kondisi ini, harus difahami bahwa melaksanakan ibadah haji adalah wilayah yang dikuasai manusia, tetapi pemahaman ini harus disertai keyakinan bahwa Allah bersifat ( اْلمُدَبِّرُ ). Dengan demikian ia menjadi ridlo terhadap segala apa yang menimpanya, karena semua itu berada diluar kuat kuasanya.
Demikian pula dalam persoalan pasangan hidup. Memilih siapapun yang akan menjadi pasangan hidup semuanya adalah perkara (اخْتِيَارِيٌّ), akan tetapi terkait dengan kesepakatan, ini adalah masalah lain. Seorang dalam memutuskan sesuatu boleh jadi Allah mencondongkan pada suatu keputusan tertentu, boleh jadi membiarkannya. Sebab Allah adalah Dzat yang kuasa membolak-balikkan hati manusia. Namun ketika Allah mencondongkan pada suatu keputusan, bukan berarti Allah memasangkan X dengan Y atau P dengan Q sejak zaman Azali, alasannya orang masih punya pilihan mutlak untuk memutuskan hatta terhadap sesuatu yang berlawanan sama sekali dengan kehendaknya. Karena itu keimanan yang harus dimiliki adalah keimanan bahwa Allah bersifat ( اْلمُدَبِّرُ ) secara mutlak, baik pada area yang dikuasai manusia maupun yang tidak dikuasai manusia, bukan keimanan bahwa Allah telah menetapkan dalam Lauhul Mahfudz bahwa A dipasangkan dengan B atau C dipasangkan dengan D.
Atas dasar ini semua pemahaman yang belum sesuai dengan nash-nash syara’ sesegera mungkin harus dikoreksi. Tidak boleh menjadikan alasan kemaslahatan misalnya: “cara ini cukup efektif untuk menghentikan orang dari pacaran” untuk mengadopsi pemahaman yang keliru tentang jodoh. Alasannya hal ini adalah persoalan hukum syara’ bukan persoalan uslub dakwah yang masih mungkin dipilih uslub yang paling tepat.

Menjaga kehormatan saudara...ayo tabayun...

Oleh: Syamsuddin Ramadhan

1. Mengembangkan Tabayyun (Cross-Check)

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Qs. al-Hujurât [49]: 6).

“Jauhilah oleh kamu sekalian prasangka, sebab prasangka itu adalah sedusta-dustanya pembicaraan.”
[HR. Bukhari dan Muslim].

2. Mendamaikan Saudara Yang Berseteru

“Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (Qs. al-Hujurât [49]: 10).

3. Tidak Mengolok-olok Sesama Muslim

“Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanitawanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Qs. al-Hujurât [49]: 11).

4. Tidak Berburuk Sangka, Mencari-Cari Kesalahan, Menggunjing (Ghibah)

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Qs. al-Hujurât [49]: 12).

“dan janganlah kamu sekalian memata-matai dan mencari-cari kesalahan orang lain, janganlah kamu saling berbantah-bantahan, saling hasud, saling benci dan saling belakang membelakangi.” [HR. Muslim].

Dalam riwayat lain dituturkan, bahwa Muawiyah ra berkata, Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya, bila kamu selalu mencari-cari aib-aib kaum muslim, maka berarti kamu menghancurkannya atau nyaris menghancurkannya.” [HR. Abu Dawud].

Ibnu Mas’ud ra menceritakan, bahwa ada seseorang yang dihadapkan kepadanya, kemudian dikatakan bahwa si fulan itu jenggotnya meneteskan minuman keras, kemudian Ibnu Mas’ud berkata:

“Sesungguhnya kami telah dilarang untuk mencari-cari kesalahan, tetapi kalau kami benar-benar mengetahui adanya sesuatu penyelewengan, maka kami pasti akan menghukumnya.” [HR. Abu Dawud].

“Ya Rasulullah, apa yang dimaksud dengan ghibah?” Rasulullah Saw menjawab, “Kamu menyebut sesuatu dari kawanmu yang ia sangat benci jika dikatakan.” “Bagaimana seandainya saya menceritakan apa yang memang terjadi pada saudaraku.” Rasulullah Saw menjawab, “Jika engkau menceritakan apa yang terjadi pada saudaramu, berarti kamu telah menggunjingnya; dan apabila engkau menceritakan apa yang sebenarnya tidak terjadi pada saudaramu, maka engkau telah membohongkannya.” [HR. Abu Dawud].

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Musa ra, bahwasanya ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw:

“Ya Rasulullah, siapakah yang paling utama diantara kaum muslim?” Beliau menjawab, “Orang yang kaum muslim lainnya selamat dari gangguan lidah dan tangannya.” [HR. Bukhari dan Muslim].

5. Menjaga Lisan Dan Hati Dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw bahwa beliau Saw bersabda:

“Barangsiapa yangberiman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia selalu berkata baik atau diam.” [HR. Bukhari dan Muslim].

Dalamriwayat lain dituturkan, bahwa Rasulullah Saw berkata: “Janganlah kamu sekalian banyak bicara, kecuali untuk dzikir kepada Allah. Sebab, banyak bicara pada selain dzikir kepada Allah akan menyebabkan kerasnya hati, dan orang yangpaling jauh dari sisi Allah SWT adalah orang yang keras hatinya.” [HR. at-Tirmidzi].

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir ra dikisahkan,
bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw: “Wahai Rasulullah, apakah yang dapat menyelamatkan?”Rasulullah Saw menjawab, “Kekanglah lidahmu, tetaplah dalam rumahmu, dan tangisilah dosamu.” [HR. at-Tirmidzi].

Dari Sa’id al-Khudri ra dari Nabi Saw diriwayatkan bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

“Apabila datang waktu pagi,maka semua anggota badan manusia mengingatkan kepada lidahnya. Anggota-anggota badan itu berkata, ‘Takutlahkepada Alklah dalam memelihara keselamatan kami, karena nasib kami tergantung kepadamu, bila kamu lurus, kami
pun lurus, dan bila kamu menyeleweng, kami pun menyeleweng’.
”[HR. at-Tirmidzi].

Dalam sebuah riwayat yangdiketengahkan oleh Imam at-Tirmidzi dijelaskan bahwa kunci untuk meraih keluhuran jiwa adalah menjaga lisan. Mu’adz ra berkata, Saya bertanya kepada Rasulullah,

“Wahai Rasulullah beritahukan kepada saya amal perbuatan yang dapatmemasukkan saya ke dalam sorga dan menjauhkan dari neraka?”
Beliau bersabda:
“Kamu benar-benar menanyakansesuatu yang sangat besar. Sesungguhnya hal itu sangat mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah SWT, yaitu:
Hendaklah kamu menyembah kepada Allah dengan tidak menyekutukanNya dengan sesuatuapapun, mendirikansholat, membayar zakat, puasa di bulan Ramadlan, dan berhaji ke Baitullah bila kamu mampu menempuh
perjalanannya.”


Selanjutnya, beliau bersabda,

“Maukah engkau aku tunjukkan pintu-pintu kebaikan? Puasa itu adalahperisai, shadaqah dapat menghilangkan dosa seperti halnya air memadamkan api, dan sholat seseorang pada tengah malam.”

Beliau lantas membaca ayat yang artinya,

“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa
kepada Tuhannya dengan rasa takut dan penuh harap, serta mereka menafkahkan sebagian rizki yang telah Kamiberikan kepada mereka. Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu bermacam-macam
nikmat yang menyenangkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”


Lalu, beliau bertanya kembali,

“Maukah engkau aku tunjukkan pokok dan tiang dari segala sesuatu dan puncak keluhuran?”

Sayaberkata, “Baiklah ya Rasulullah.” Rasulullah Saw berkata, “Pokok segala sesuatu adalah Islam, tiangnya adalah sholat,
dan puncak keluhurannya adalah berjuang di jalan Allah.”
Kemudian beliau bersabda, “Maukah kamu aku tunjukkantentang kunci dari kesemuanya itu?” Saya menjawab, “Tentu ya Rasulullah.”

Beliau lantas memegang lidahnya seraya
berkata
, “Peliharalah ini.” Saya berkata, “Ya Rasulullah, apakah kami akan dituntut atas apa yang kami katakan?” Beliaubersabda “Celaka kamu, bukankah wajah manusia tersungkur ke dalam neraka, tidak lain karena akibat lidah mereka?”
[HR. at-Tirmidzi].