Jalan Cinta Para Pejuang

di sana, ada cita dan tujuan
yang membuatmu menatap jauh ke depan
di kala malam begitu pekat
dan mata sebaiknya dipejam saja
cintamu masih lincah melesat
jauh melampaui ruang dan masa
kelananya menjejakkan mimpi-mimpi

lalu di sepertiga malam terakhir
engkau terjaga, sadar, dan memilih menyalakan lampu
melanjutkan mimpi indah yang belum selesai
dengan cita yang besar, tinggi, dan bening
dengan gairah untuk menerjemahkan cinta sebagai kerja
dengan nurani, tempatmu berkaca tiap kali
dan cinta yang selalu mendengarkan suara hati

teruslah melanglang di jalan cinta para pejuang
menebar kebajikan, menghentikan kebiadaban, menyeru pada iman
walau duri merantaskan kaki, walau kerikil mencacah telapak
sampai engkau lelah, sampai engkau payah
sampai keringat dan darah tumpah

tetapi yakinlah, bidadarimu akan tetap tersenyum
di jalan cinta para pejuang

Salim A. Fillah

~menapaki langkah perjuangan~

Di jalan ini telah menapak kedua kakiku
Di saat kaki yang lain merasa enggan
Di saat jiwa yang lain merasa segan
Takut akan halang dan rintang
Entahlah, sering kubertanya…
Apakah daya ini akan terus ada??
Apakah bara semangat ini kan terus menyala??
Menggenggam mabda’ yang terus membara??

Atau kemudian akan padam dan layu??
Aku tergugu dan membisu??

Sebuah asa…
Setitik perjuangan…
Sejengkal perjalanan..
Sebilah pengorbanan..

Apakah akan dipertaruhkan hanya karna kita tak sanggup lagi??
Apakah kefuturan telah mengalahkan semangat hati??
Hingga tak sadar jadi seonggok besi
Putus asa menjadi hal yg pasti

Namun asa itu tak akan pernah mati
Ia butuh kesungguhan hati
Demi sebuah perjuangan tegaknya kalimat Illahi Rabbi
Allahu akbar !!

[abel vihani]

~menemui cinta diujung senja~

Bila..
Sebuah masa telah tiba
Datang tanpa rencana
Bila..
Sebuah masa telah menjadi sebuah kepastian
Namun selalu terlupa dalam kehidupan
Bila..
Persiapan belum sempurna
Namun penjemput menghampiri di muka

Membuatku tercekat
Terperanjat
Hingga terasa jantungku ingin meloncat
Mataku keluar mencelat

Menatap nanar
Hilang sudah semua binar
Yang ada hanyalah onar

Teringat masa yg hingar bingar
Teringat masa yang telah terhampar

Menjadi catatan yang kian berakar
Yang mungkin tak pernah mereka dengar
Tentangku si manusia pijar

Selalu, selalu dan selalu
Mereka anggap aku sempurna
Tak bercela
Tak ada tandingannya
Membuatku lupa
Terlena
Karna perkata

Bila waktu itu telah tiba
Hilang anak dalam kalbu seorang ibu
Terputus saudara karna dosa
Terlupa ikatan karena waktu

Dan itu akan terjadi nyata, Saudara
Tak ada yang patut di banggakan
Wajah nan indah kelak kan menjadi keriput
Mata yang tajam menatap kelak kan menjadi rabun
Tak ada yang patut dibanggakan
Bila terlahir terbungkus ari-ari,
Kemudian memakai dasi, maka kelak kan bersama kafan pembungkus diri

Tak ada yang patut dibanggakan
Karna jiwa ini selalu dalam genggaman
Sang Pengatur Lintasan
Bagi makhluk bernama insan

[abel vihani]

Inilah aku...


Aku….
Adalah aku…
Dengan segala kekuranganku…

Aku adalah aku…
Yang selalu berusaha bertahan dalam sebuah asa…

Aku adalah aku….
Yang selalu berusaha meraih sebuah cita…

Aku adalah aku…
Yang selalu berusaha untuk selalu berfikir dan memahami dari sebuah fenomena

Aku adalah aku…
Yang selalu mencoba untuk selalu berada dijalan ini…
Dijalan yang selalu orang anggap asing…

“Islam dimulai sebagai sesuatu yang asing; dan akan kembali sebagai sesuatu yang asing. Beruntunglah bagi orang-orang yang terasing. “Para sahabat kemudian bertanya: ‘Siapa orang-orang asing Yaa Raslulullah?’ ‘Mereka adalah orang-orang yang mencegah yang munkar ketika orang-orang mulai melakukan kerusakan.’”

Aku adalah aku…
Yang selalu berusaha menjadikan sebuah mabda’ dalam genggamanku
Sebuah mabda’ yang akan terus membara dan menjadi api pembakar ghirah perjuanganku…

Aku adalah aku…
Yang selalu bertahan pada sebuah penantian panjang dan kerinduan yang amat sangat…
Kerinduan akan naungan syariatNya….

Aku adalah aku…
Yang akan memperjuangkan agar kerinduan itu menjadi sirna…
Kerinduan yang sirna yang menjadi sebuah kepastian…

Aku adalah aku…
Yang ini menjadi bagian dari orang-orang yang telah Allah sebutkan dalam firmanNya…
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”
(24:56)


"Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) yang zalim; ia juga ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) diktator yang menyengsarakan; ia juga ada dan atas izin Alah akan tetap ada. Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian." Beliau kemudiannya diam. [HR Ahmad dan al-Bazar]


~SEGENGGAM TABAH DAN SEBENTUK MABDA' SEMOGA SELALU MENJADI BEKAL DALAM PERJALANAN~


Samarinda, 04.45 wita dini hari

ngantuk pisan euy

Ramadhan Momentum Menikmati Hidangan Dari Allah


Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Sesungguhnya al-Qur’an ini merupakan hidangan Allah, maka terimalah hidangan-Nya semampu kalian. Sesungguhnya al-Qur’an ini merupakan tali (agama) Allah yang kokoh, cahaya yang terang, dan obat yang mujarab. Sehingga, siapa pun yang berpegang teguh dengannya pasti akan terlindungi, dan siapa pun yang selalu mengikutinya pasti akan sukses. Al-Qur’an mengingatkan orang yang berbuat salah dan mengembalikan orang yang tersesat. Kehebatan al-Qur’an tidak akan pernah habis dan tidak pula usang meski banyak orang yang menolaknya. Bacalah al-Qur’an, sebab Allah akan memberi pahala kepada yang membacanya, yaitu sepuluh kebaikan untuk setiap hurufnya.”

Hidangan dari Allah ini, ibaratkan makanan merupakan yang paling lengkap kandungan gizinya, dan obat yang paling mujarab dan berkhasiat. Namun, hidangan yang begitu sempurnanya ini kurang diminati, dan disia-siakan. Mungkin, inilah keadaan yang sangat dikhawatirkan oleh Rasulullah SAW.: “Berkatalah Rasul: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Qur’an ini suatu yang disia-siakan’.” (QS. Al-Furqan: 30).

Manusia beragam dalam menyia-nyiakan hidangan dari Allah ini, sesuai keadaan masing-masing. Dalam hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Seseorang dikatakan menyia-nyiakan al-Qur’an jika ia tidak mau membacanya. Seseorang yang sudah terbiasa membacanya masih dikatakan menyia-nyiakannya jika ia tidak mau memahami kandungannya. Dan seseorang yang sudah terbiasa membacanya dan telah memahami kandungannya juga masih dikatakan menyia-nyiakannya jika ia belum mengamalkannya.”

Setiap manusia tentu ingin hidup bahagia jauh dari bencana. Namun, apabila yang ia makan adalah makanan yang kurang baik dan tidak bergizi, serta kehalalannya tidak jelas lagi, maka jangan berharap akan hidup sehat yang membahagiakannya, justru yang terjadi malah sakit-sakitan. Tentu dalam keadaan yang demikian, dapat dibayangkan, pasti hidupnya menderita dan sengsara, sehingga hidupnya terasa sempit.
Allah SWT. berfirman: “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit.” (QS. Thaha: 124). Dalam tafsir al-Qurthubi dikatakan ‘berpaling dari peringatan-Ku’, yakni berpaling dari agama-Ku, dari membaca kitab-Ku dan dari mengamalkan isinya.
Bulan Ramadhan merupakan momentum untuk mulai mencicipi dan menikmati hidangan dari Allah, sebab di bulan inilah hidangan itu diturunkan, yakni di bulan ini mulailah membiasakan diri membaca Al-Qur’an, memahami kandungannya dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga hidup sehat bukan sekedar impian tapi kenyataan. Sebab, selezat apapun makanan itu jika kita tidak memakannya, maka kita tidak akan pernah merasakan kenikmatannya. Wallahu a’lam bish-shawab. [Muhammad Bajuri]

sumber : http://hizbut-tahrir.or.id/2009/08/28/ramadhan-momentum-menikmati-hidangan-dari-allah/

samarinda, 04.05 wita dini hari

~segenggam tabah~


Bertali arus dugaan tiba

Menakung sebak airmata

Namun tak pernah pun setitis

Tidak ditempah hidup sengsara

Suratan nasib yang melanda

Menongkah badai bergelora

Diredah bersendirian

Bagaikan camar pulang senja

Patah sayapnya tetap terbang jua

Sekadar secicip rezeki

Buat yang sedang rindu menanti

Segenggam tabah dipertahankan

Buat bekalan di perjalanan

Kau bebat luka yang berdarah

Kau balut hati yang calar

Telah tertulis suratan nasibmu

Derita buatmu ada hikmahnya

Terlukis senyum di bibir lesu

Tak siapa tahu hatimu

Biarpun keruh air di hulu

Mungkinkah jernih di muara

Biarpun jenuh hidup dipalu

Pasti bertemu tenangnya

~segenggam tabah~
copas, samarinda 04.00 wita dini hari.

~Jika Aku Pulang.... ~


Jika aku pulang saat ini...
ku mohon titip kan salam ku pada umi ku..

jika aku pulang saat ini...
tolong titip cium hangat di kening abi ku...

umi yang selalu setia menunggu hingga larut malam di setiap malam-malamku...

umi yang selalu tertidur di kasurku dan terbangun saat mendengar suara motorku...
umi yang selalu ... T_T

umi yang selalu tersenyum melihat gayaku menyisir rambut di depan cermin

umi yang selalu berkata "jangan ngebut kalo naik motor Di... "

umi yang pernah tidak tidur semalaman karena menjaga ku yang sedang sakit

umi yang selalu menyuruh sarapan sebelum berangkat kerja

umi...
Seorang ibu yang sering bohong kalau ia sudah kenyang jika aku minta makan. Yang pernah bohong ia tidak pernah lelah mengasuhku...

Dan abiku...

seorang laki-laki kekar dan perkasa di hadapanku...

masih teringat dengan senyum manisnya yang merekah saat keringatnya masih mengalir lewat pipinya yang sudah keriput...

masih teringat kata-katanya "jangan seperti bapak ya nak..."

masih teringat masa-masa itu...
saat masuk hutan dan keluar hutan hanya untuk mencari sesuap nasi.
masih teringat dengan jelas difikiranku air mata beliau yang mengalir saat merasa lelah, entah apa yang difikirkannya pada waktu itu...

dan kepada kakakku dan adik yang sangat kusayangi....
sungguh takkan terlupakan masa-masa kecil kita dulu.
tinggal di hutan
rumah berlapiskan kulit kayu ^_^
bercengkrama bersama...
jauh dari hiruk pikuknya kota dan keramaian....
yah..
namanya juga di hutan he he he
walau terkadang kita dulu juga sering bertengkar...
yah..
itulah saudara...
kata orang gak rame jika gak bertengkar ^_^

jika aku pulang saat ini...
maka,
maafkan atas semua salahku ya abi dan umi....
terimakasih karena telah merawat dan mendidiku hingga menjadi seperti ini
masih banyak yang belum dapat ku berikan untuk mebuat kalian tersenyum...

Selebihnya, akan kupersembahkan terima kasihku kelak jika kita bertemu di surga...

Jika aku pulang...
Aku berdoa semoga bisa bertemu di sana ya…Untuk semua sahabat, sejak kecil sepermainan, ketika bersama-sama berangkat sekolah bersama, rekan-rekan kerja yang tak bosan untuk terus bercanda dan bekerja sama. Untuk semua atasan yang saya hormati, dan (maaf) terkadang aku benci karena sesuatu hal. Terima kasih semua dan mohon maaf.


Anakmu dalam perjalanan,



Adi Victoria

~Mencintai dengan sempurna~

Malam menjelang tidur, kembali sebuah sms dari seorang sahabat membuatku merenung....”

”Kita hidup bukanlah mencari seseorang yang sempurna untuk kita cintai, namun kita belajar untuk mencintai orang yang tidak sempurna dengan sempurna.”

Kalimat yang begitu sederhana...tapi tidak sesederhana maknanya....
Ku eja..setiap kata-katanya dengan perlahan lalu ku coba untuk memahami maknanya.....
Dan....ada tetes-tetes yang tak terbendung dari tiap sudut mataku.........
Entah...oleh sebab apa aku harus menangis seketika itu.....
Yang pasti aku merasakan tamparan keras pada hatiku....

Hingga kini aku tetap menyakini bahwa segala sesuatu terjadi pasti dengan idzinNya...dan BUKAN tanpa maksud....

Kali ini Allah mengajariku satu hal melalui seorang teman...lewat sms nya tadi...
Bukan tanpa sebab Alloh menggerakkan jari akhi itu untuk mengirimkan sms tersebut,. Ia mengirim tanpa ada obrolan apapun tentang tema itu sblmnya...tidak satu jam yg lalu, tidak satu hari yang lalu, tidak satu minggu yang lalu, tidak pula satu tahun yang lalu.

Ketika di tanya mengapa ia mengirimkannya untuk saya...hanya satu kalimat sederhana yang diungkapkan olehnya : ”Ketika saya membacanya dari sebuah web muslim, saya langsung teringat akhi..saya kutip dan saya simpan dalam draf sms...dan malam ini saya sms kan...hanya ke satu no. Tujuan...”

”Just it. ”

Percayakan anda?
Malam itu sebelum menerima sms dari nya, saya sedang asyik dan serius membuat konsepan rumah tangga yang ideal untuk saya di masa depan. Paling tidak untuk 3 tahun pertama di kehidupan kami ke depan. Saya mencoba membuat planing-planing ke depan.
Bagaimana saya, isteri saya, keluarga besar kami, konsepan pendidikan anak-anak, aktifitas saya berikutnya dan bla...bla...bla...
Ya...saya sedang belajar bermimpi...dan lalu berikhtiar semaksimal mungkin untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu.

Saya merencanakannya sendiri...tanpa calon isteri saya...mengapa???
Karna sampai kini ”dia” masih abstrak dan masih menjadi misteri bagi saya...:)
Mungkin bagi anda, saya melakukan hal yang sia-sia?? Atau mungkin lucu? Atau hanya membuang waktu saja ??.

Tapi bagi saya : tidak !!
Kehidupan sangat penting untuk direncanakan…jauh hari sebelumnya…..
Karna perencanaan adalah bagian dari kesuksesan…bukankah begitu ???
Dan malam itu Alloh langsung menegur saya lewat sebuah sms….
Anda tau kenapa ???

Karna saya mengharapkan kesempurnaan atas segala sesuatunya. Termasuk atas seseorang yang akan saya cintai di kemudian hari. Saat itu saya membuang jauh ”ketidaksempurnaan’. Meski saya sadar sepenuhnya : memang kita tidak akan menemukan mahlukNYA yang sempurna.

Malam itu juga, Alloh mengingatkan saya pada ketiga laki2 sholeh yang luar biasa. Mereka TIDAK SEMPURNA secara fisik, tapi akhlak, kesholehan dan perjuangan hidupnya membuat setiap orang berdecak kagum atasnya. Mereka adalah orang-orang yang dekat dengan saya. Teman sekaligus abang bagi saya. Saudara seiman yang sangat layak untuk ditauladani bagi saya dan juga siapapun juga.


Dan Alloh menegur saya untuk mulai belajar memahami, untuk bisa menyiapkan hati manakala kondisi itu dihadapkan pada saya. Saya juga harus berani membuat planning planing-planing alternatif sesuai kondisional dan capabilitas mereka.

Saya yakin setiap kita memahami bahwa Alloh menilai setiap kita bukan karna penampilan luarnya, tapi Alloh menilai pada hati kita. Sekali lagi tidak seharusnya fisik menjadi takaran bagi kita. Tapi setiap kita masih harus belajar ikhlas untuk menerima ketidaksempurnaan. Belajar ....iya...belajar.

Teringat salah seorang jamaah pengajian aa Gym. Jika tidak salah namanya ”Gun”. Beliau adalah seorang yang cacat fisik. Bahkan ia mengalami kesulitan berkomunikasi. Untuk pergi ke Darul tauhid beliau harus beberapa kali naik turun angkot dan tetap butuh gendongan orang lain. Tapi itu smua tak menyurutkan motivasi nya untuk berburu majlis ilmu. Ikhlas menjalani hidup begitulah sosoknya. Kini Gun telah mendapatkan bidadari dunianya. Seorang akhwat sholeha dan sempurna kini slalu mendampinginya dalam suka dan duka bersama mengarungi samudra kehidupan. Itulah anugrah yang Alloh berikan untuknya.

Satu lagi. Pasti kita semua mengenalnya : Ucok Ali Baba. Seorang entertaint yang juga cacat secara fisik. Tapi memiliki istri yang sempurna.

Istri Gun dan juga istri Ucok adalah wanita-wanita luar biasa yang mampu menyintai laki-laki yang tidak sempurna dengan cara yang sngat sempurna.

Belajar menerima dan memahami...mungkin hanya itu kata-kata yang terbaik untuk saya dan juga anda saat ini. Belajar mencintai segala sesuatu yang tak sempurna dengan sempurna.

Pendapat Syaikh Nashiruddin al- Albani tentang hukum memakai cadar


Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : "Bagaimana hukum
wanita
menutup muka (cadar) ?"

Jawaban.
Kami tidak mengetahui ada seorangpun dari shahabat yang mewajibkan
hal itu. Tetapi lebih utama dan lebih mulia bagi wanita untuk
menutup wajah. Adapun mewajibkan sesuatu harus berdasarkan hukum
yang jelas dalam syari'at. Tidak boleh meajibkan sesuatu yang tidak
diwajibkan Allah.

Oleh karena itu saya telah membuat satu pasal khusus dalam
kitab 'Hijabul Mar'aatul Muslimah', untuk membantah orang yang
menganggap bahwa menutup wajah wanita adalah bid'ah. Saya telah
jelaskan bahwa hal ini (menutup wajah) adalah lebih utama bagi
wanita.

Hadits Ibnu Abbas menjelaskan bahwa wajah dan kedua telapak tangan
bukan termasuk aurat, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah
dalam 'Al-Mushannaf'.

Pendapat kami adalah bahwa hal ini bukanlah hal yang baru. Para
ulama dari kalangan 'As Salafus Shalih' dan para ahli tafsir seperti
Ibnu Jarir Ath-Thabari dan lain-lain mengatakan bahwa wajah bukan
termasuk aurat tetapi menutupnya lebih utama.

Sebagian dari mereka berdalil tentang wajibnya menutup wajah bagi
wanita dengan kaidah.

"Artinya : Mencegah kerusakan didahulukan daripada mengambil
kemanfaatan"

Tanggapan saya.
Memang kaidah ini bukan bid'ah tapi sesuatu yang berdasarkan
syari'at.
Sedangkan orang yang pertama menerima syari'at adalah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian orang-orang yang menerima
syari'at ini dari beliau adalah para shahabat. Para Shahabat tentu
sudah memahami kaidah ini, walaupun mereka belum menyusunnya dengan
tingkatan ilmu ushul fiqih seperti di atas.

Telah kami sebutkan dalam kitab 'Hijaab Al-Mar'aatul Muslimah' kisah
seorang wanita 'Khats'amiyyah' yang dipandangi oleh Fadhl bin 'Abbas
ketika Fadhl sedang dibonceng oleh Nabi Shallallahu 'laihi wa
sallam, dan wanita itupun melihat Fadhl. Ia adalah seorang yang
tampan dan wanita itupun seorang yang cantik. Kecantikan wanita ini
tidak mungkin bisa diketahui jika wanita itu menutup wajahnya dan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika itu memalingkan
wajah Fadhl ke arah lain. Yang demikian ini menunjukkan bahwa wanita
tadi membuka wajahnya.

Sebagian mereka mengatakan bahwa wanita tadi dalam keadaan ber-ihram,
sehingga boleh baginya membuka wajah. Padahal tidak ada tanda-tanda
sedikitpun bahwa wanita tadi sedang ber-ihram. Dan saya telah men-
tarjih (menguatkan) dalam kitab tersebut bahwa wanita itu berada
dalam kondisi setelah melempar jumrah, yaitu setelah 'tahallul' awal.

Dan seandainya benar wanita tadi memang benar sedang ber-ihram,
mengapa
Rasulullah tidak menerapkan kaidah di atas, yaitu kaidah mencegah
kerusakan .?!

Kemudian kami katakan bahwa pandangan seorang lelaki terhadap wajah
wanita, tidak ada bedanya dengan pandangan seorang wanita terhadap
wajah lelaki dari segi syari'at dan dari segi tabi'at manusia.

Oleh sebab itu Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Katakanlah kepada orang laki-laki yang
beriman. 'Hendaknya mereka menahan pandangannya" [An-Nuur : 30]

Maksudnya dari (memandang) wanita.

Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan katakanlah kepada wanita yang beriman. 'Hendaklah
mereka
menahan pandangannya" [An-Nuur : 31]

Maksudnya yaitu jangan memandangi seorang laki-laki.

Kedua ayat diatas mengandung hukum yang sama. Ayat pertama
memerintahkan menundukkan pandangan dari wajah wanita dan ayat kedua
memerintahkan menundukkan pandangan dari wajah pria.

Sebagaimana kita tahu pada ayat kedua tidak memerintahkan seorang
laki-laki untuk menutup. Demikian pula ayat pertama tidak
memerintahkan seorang wanita untuk menutup wajah.

Kedua ayat di atas secara jelas mengatakan bahwa di zaman Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam ada sesuatu yang biasa terbuka dan
bisa dilihat yaitu wajah. Maka Allah, Sang Pembuat syari'at dan Yang
Maha Bijaksana memerintahkan kepada kedua jenis menusia (laki-laki
dan perempuan)untuk menundukkan pandangan masing-masing.

Adapun hadits.

"Artinya : Wanita adalah aurat"

Tidak berlaku secara mutlak. Karena sangat mungkin seseorang boleh
menampakkan auratnya di dalam shalat.[1]

Yang berpendapat bahwa wajah wanita itu aurat adalah minoritas ulama.
Sedangkan yang berpendapat bahwa wajah bukan aurat adalah mayoritas
ulama (Jumhur).

Hadits diatas, yang berbunyi.

"Artinya : Wanita adalah aurat, jika ia keluar maka syaithan
memperindahnya"

Tidak bisa diartikan secara mutlak. Karena ada kaidah yang berbunyi :

"Dalil umum yang mengandung banyak cabang hukum, dimana cabang-
cabang hukum itu tidak bisa diamalkan berdasarkan dalil umum
tersebut, maka kita tidak boleh berhujah dengan dalil umum tersebut
untuk menentukan cabang-cabang hukum tadi".

Misalnya : Orang-orang yang menganggap bahwa 'bid'ah-bid'ah' itu
baik adalah berdasarkan dalil yang sifatnya umum. Contoh : Di negeri-
negeri Islam seperti Mesir, Siria, Yordania dan lain-lain.... banyak
orang yang membaca shalawat ketika memulai adzan. Mereka melakukan
ini berdasarkan dalil yang sangat umum yaitu firman Allah.

"Artinya : Wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kamu untuk
Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya" [Al-Ahzaab : 56]

Dan dalil-dalil lain yang menjelaskan keutamaan shalawat kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang merupakan dalil-dalil umum (yang
tidak bisa daijadikan hujjah dalam adzan yang memakai shalawat,
karena ia membutuhkan dalil khusus, wallahu a'lam, -pent-).

Mewajibkan wanita menutup wajah. Berdasarkan hadits : "Wanita adalah
aurat", adalah sama dengan kasus di atas. Karena wanita (Shahabiyah)
ketika melaksanakan shalat mereka umumnya membuka wajah. Demikian
pula ketika mereka pulang dari masjid, sebagian mereka menutupi
wajah, dan sebagian yang lain masih membuka wajah.

Jika demikian hadits diatas (wanita adalah aurat), tidak termasuk
wajah dan telapak tangan. Prinsip ini tidak pernah bertentangan
dengan praktek orang-orang salaf (para shahabat).


[Disalin dari kitab Majmu'ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarah, edisi
Indonesia Fatwa-Fatwa AlBani, hal 150-154 Pustaka At-Tauhid]

Muhasabah cintaku kepadaMu -_-

Ya Aziz..........
Jika Cinta Adalah Ketertawanan
Tawanlah Aku Dengan Cinta Kepada-Mu
Agar Tidak Ada Lagi Yang Dapat
Menawanku Selain Engkau

Ya Rohim..........
Jika Cinta Adalah Pengorbanan
Tumbuhkan Niat Dari Semua Pengorbananku
Semata-mata Tulus Untuk-Mu
Agar Aku Ikhlas Menerima Apapun Keputusan-Mu

Ya Robbii..........
Jika Rindu Adalah Rasa Sakit
Yang Tidak Menemukan Muaranya
Penuhilah Rasa Sakitku
Dengan Rindu Kepada-Mu
Dan Jadikan Kematianku Sebagai
Muara Pertemuanku Dengan-Mu
Ya Robbii..........
Jika Sayang Adalah Sesuatu Yang Mempesona
Ikatlah Aku Dengan Pesona-Mu
Agar Damai Senantiasa Kurasakan
Saat Terucap Syukurku Atas Nikmat Dari-Mu

Ya Alloh..........
Jika Kasih Adalah Kebahagiaan
Yang Tiada Bertepi
Tumbuhkan Kebahagiaan Dalam Hidupku
Di saat Kupersembahkan Sesuatu Untuk-Mu

Ya Alloh..........
Hatiku Hanya Cukup Untuk Satu Cinta
Jika Aku Tak Dapat Mengisinya Dengan Cinta Kepada-Mu
Kemanakah Wajahku Hendak Kusembunyikan Dari-Mu

Ya Ar-Rahman.........
Dunia Yg Engkau Bentangkan Begitu Luas
Bagai Belantara Yg Tak Dapat Kutembus
Di Malam Yang Gelap Gulita
Agar Tidak Tersesat Dalam Menapakinya

Ya Ar-Rahhim…….
Berikan Alas Kaki Buat Hamba Agar Jalan Yg Kutapaki Terasa Nikmat
Meski Penuh Dengan Bebatuan Runcing & Duri Yang Tajam
Hamba Sadar Semua Ini Milikmu Dan Suatu Saat
Jika Kau Kehendaki Semuanya Akan Kembali Jua Kepada-Mu
Hamba pasrahkan kehidupan hamba kepada-Mu.

matikan aku dalam perjuangan
perjuangan menggapai syahid akan perjuangan ini
atau hidup mulia di bawah naungan syariatMu..
tuk menggapai cinta dan ridhaMu.

amin

Inilah jalanku....


Kubiarkan berbagai komentar itu menghantui hari-hariku, memenuhi relung jiwa nan kian mendesah payah karena rasa psrah atas kehendak yang Maha perkasa.

Mengiring langkah penuh pasti menggapai keingingan dan keyakinan yang kian membumbung.

”Antum tu kebanyakan yang diemban, coba konsen pada kepentingan sendiri…”

Terus dan terus kubiarkan masukan itu masuk ke telinga memenuhi gendang telinga dan diolah oleh tulang-tulang pendengaranku, namun tak sekalipun kuijinkan ia menembus otak melampaui hati untuk menjadi sebuah ungkapan kekecewaan. Sama sekali aku tak perkenankan.

Inilah jalanku…………….

Aku sedemikian bahagia melaluinya, menjalani hari demi hari dengan kelelahan yang kian bertambah. Tapi……………justru dengan kelelahan itulah semangatku masih tetap ada. Dengan jalan ini pula aku memiliki harapan yang banyak demi masa depanku, demi sebuah keyakinan akan pertolongan Allah dan demi sebuah imbalan luar biasa untuk bisa berkumpul dengan para syuhada. Sungguh, ini belum apa-apa dan belum seberapa dibandingkan apa yang telah dilakukan dan diberikan para sahabat kepada dan untuk islam. Apa yang aku pilih untuk aku tunaikan sebagai kewajibanku bukanlah suatu karya besar jika dibandingkan karya-karya para sahabat yang dijamin syurga untuknya tersebut.

Inilah jalanku……………..

Yang kuharap mampu mengantarkan langkah kakiku menuju singgasana keridhoanNYA, menatap wajahNYA tanpa hijab. Supaya diberiNYA aku kesempatan berkumpul dan bersilaturahim bersama sahabat, syuhada para anbiya dan kekasih-kekasihNYA tercinta. Sebagian di antara mereka berucap ”Apa dengan mengorbankan study sebegitunya? Menghabiskan waktu untuk amanah dakwah yang tak kunjung mereda? Sampai kapan akan begitu terus?” kata mereka. Bagaimanapun juga aku menghargai kepedulian mereka kepadaku dengan mengingatkan aku, tapi inilah jalanku……………..jalan dakwah yang kupilih untuk mendampingi perjalanan hidupku yang tidak jauh lebih berharga dibanding hari sesudah kematianku.

Pada dasarnya banyak pilihan bagiku………….

Bila aku mau, aku bisa memilih untuk meninggalkan sama sekali amanahku di luar yang tidak hanya satu untuk hanya menekuni kuliahku. Bisa saja aku menghabiskan waktuku 24 jam di perpustakaan untuk menelan sekian banyak buku menjadi bagian dari kesuksesan studyku, menjadi seorang yang berkutat dengan program-program komputer. Tak sulit bila aku ingin memilih undur diri dari wajihah ini dan itu untuk berkonsentrasi penuh dengan studyku. Sungguh, itu adalah satu pilihan yang ada di depan mataku.

Namun aku meyakini…………….

Bahwa ketika Allah memberikanku nilai D yang artinya tidak lulus maka Allah sedang mengujiku karena aku dianggap mampu menghadapi ujian itu. Pun ketika Allah menjadikan satu dari sekian banyak mata kuliahku bernilai E dan lantaran itu aku menjadi harus memperpanjang masa kuliahku satu tahun lagi, maka aku tancapkan dalam hatiku bahwa itu semata-mata bukan karena amanahku di dalam dakwah, tapi hanya karena IA ingin menguji aku dan dianggap aku mampu. ”Bisa jadi antum disuruh Allah menuntaskan amanah yang belum kelar” begitu ungkap satu orang ikhwah dekatku.

Aku menghargai mereka………..

Yang memilih menghilang dari peredaran dakwah lantaran kesibukannya di dakwah semester lalu telah menyita waktunya sehingga tidak sempat belajar lagi (versi dia). Dengan hanya berkonsentrasi belajar ia berharap bisa lulus segera dan ”NANTILAH” bila sudah lulus saya akan berkontribusi di dakwah. Yah………….itu adalah pilihannya dan aku menghargainya, tapi tidak begitu dengan aku. Karena aku berfikir bisa jadi usiaku tidak menyampaikanku pada kesuksesan cita yang kuinginkan, lantas dengan alasan apa aku menunda kontribusiku demi menunggu waktu aku menggapai cita-cita studyku? Sungguh tak ada alasan bagiku.

”Jangan menjadi lilin? Apa dengan mengorbankan kepentingan sendiri begitu?”

Aku berpikir memang dengan ungkapan itu, jangan-jangan aku memang telah menjadi lilin yang berusaha menerangi orang lain tapi aku leleh perlaham. Tapi, kembali kesadaranku berbicara bahwa ungkapan itu jangan-jangan juga hanya sebagai alasan keMANJAanku saja. Bukankah Abu Bakar menyumbangkan seluruh hartanya untuk jihad dan hanya meninggalkan Allah dan RasulNYA untuk keluarhanya? Apakah itu kita bilang sebagai mengorbankan kepentingan sendiri? Apakah Abu Bakar kita sebut sebagai lilin?? Tidak bukan????Sedemikian besar yang para sahabat korbankan dan tak satupun yang ditegur rasul lantaran alasan ”Kamu jangan mengorbankan dirimu” tidak…………sama sekali tidak. Nah…..kita?? sedikit-sedikit kita bilang, ”jangan terlalu berkorban sebegitunya”……………kok bisa gitu lho!!! Aku merasa malu sendiri dengan ungkapan itu. Sebuah upaya mencari pembenaran agar bisa bermanja dan tidak terlalu banyak berkorban. Naudzubillah!!! (Afwan ini pandangan subyektif saya)

Inilah jalan yang kupilih…………

Dengan jalan ini pula semangat di otakku masih bisa disetting untuk terus bersemangat. Dengannya pula kakiku mampu melangkah ke tempat-tempat yang secara logika aku enggan menggapainya lantaran jauh dan susah. Dengan jalan ini pula aku mampu bergaul dan tersenyum kepada banyak orang karena mengharap mereka menjadi bagian dari penghuni syurga. Dengan jalan ini pula aku mampu memberikan banyak penjelasan ketika orang tuaku memaksakan sesuatu. Sungguh…..di jalan ini pula aku banyak belajar menjadi seorang yang tangguh, tsabat serta sabar menghadapi berbagai karakter yang secara nalar aku sudah tak bisa menghadapinya.

Inilah jalanku………….

Dan tak kan kubiarkan siapapun mengecoh langkahku dari jalan ini.

sumber : http://ukimedia.wordpress.com/2008/05/09/inilah-jalanku/

FIS Aljazair: Sebuah Pembelajaran Untuk Partai Islam di Dunia


Usianya pendek. Namun, akan dikenang sebagai sebuah gerakan Islam yang bisa diterima oleh rakyat. Karena, ia konsisten untuk menjadi partai Islam. Perkembangan dan sejarahnya dimatikan oleh penguasa.

Pada dekade akhir 80-an dan awal 90-an, hampir semua penggerak dakwah Islam mengenali FIS. FIS atau Front Islamic du Salut atau dalam bahasa Indonesia Front Keselamatan Islam adalah sebuah partai politik di Aljazair berideologi Islam.

Sampai tahun 1988, di Ajazair hanya ada satu partai politik yaitu FLN. Namun ketika meletus penentangan terhadap pemerintah dan FLN, presiden Aljazair ketika itu, Chadli Bendjedid (sekaligus merangkap sebagai sekjen FLN), terpaksa mengizinkan pendirian berbagai parpol baru.

Satu tahun kemudian, berdirilah FIS. FIS didirikan di atas kesadaran masyarakat Aljazair yang beragama Islam. Bertahun-tahun masyarakat Muslim Aljazair kecewa terhadap pemerintahnya yang sekuler, karena negaranya tidak mengalami kemajuan. Juga selain itu, pemerintah Aljazair tidak mengakomodasi kepentingan umat Islam.

Benjedid sendiri memerintah sejak tahun 1978, meneruskan kepemimpinan Boumedienne yang jahil (sekuler). Boumedienne sendiri berkuasa karena menggulingkan presiden Bella pada tahun 1962. Otomatis, sejak tahun 1988 itu, bermunculanlah parpol-parpol di Aljazair. Namun, kemudian hanya FIS yang menyeruak ke permukaan dan meraih simpati masyarakat. Apa pasal? Ini karena sejak awal FIS konsisten berjuang dengan program-program dan asas Islam.

Masyarakat Aljazair yang sudah lama hidup dalam belenggu dan suasana sekuler, tidak disangka-sangka lebih memilih FIS. Walaupun rakyat mayoritas beragama Islam, namun kehidupan dan cara-cara masyarakat Aljazair hampir tidak beda dengan masyarakat Prancis atau Eropa, hingga kecenderungan mereka terhadap FIS pun mengherankan banyak pihak. Sekalipun, soal urusan hidup hedonis, tapi untuk urusan pemerintahan, tampaknya rakyat Aljazair lebih percaya pada konsep Islam.

FIS pun meresponnya dengan baik, yaitu dengan tidak tertarik akan ide “berpura-pura” menjadi sekuler, seperti menjadi partai terbuka atau nasionalis untuk menarik simpati masyarakat. Mereka tetap konsisten dengan nilai dan prinsip Islam, baik di dalam partai ataupun skap keluar (eksternal) terhadap partai atau golongan serta pemerintah.

Pada pemilu 1991, artinya hanya dua tahun sejak berdirinya FIS, partai ini meraih 54% suara dan mendapat 188 kursi di parlemen atau menguasai 81% kursi. Suatu pencapaian yang fantastis! Pada pemilu putaran kedua, FIS dinyatakan menang telak.

Hasilnya pada pemilu putaran pertama 20 Juni 1991, FIS memenangkan 54% suara dan mendapat 188 (81%) kursi di parlemen. Umat Islam Aljazair menyambut gembira Kemenangan FIS ini disambut gembira oleh rakyat Aljazair.

Namun tidak dengan Benjedid. Presiden yang kemudian mengundurkan diri ini setelah kekalahan partainya segera berkonsolidasi dengan pihak-pihak yang tak ingin Islam tampil dan FIS berkuasa. Maka Benjedid pun menggalang kekuatan militer. Militer, dengan kekuasaannya dan semena-mena, membubarkan parlemen Aljazair serta membatalkan hasil pemilu.

Mohammed Boudiaf, mewakili militer, segera mendirikan Dewan Tinggi Negara, dan kemudian bertindak sebagai pemerintahan interim. Ia, entah dengan dasar apa, mengumumkan bahwa Aljazair berada dalam keadaan darurat.

Boudiaf menjadi penguasa baru di Aljazair. Ia merekayasa semua cara untuk memberangus FIS dan menyatakannya sebagai partai politik terlarang. Ribuan anggota dan pendukung FIS ditangkap dan dijebloskan ke penjara, dan tak jarang dibunuh. Pemimpin FIS Abassi Madani dan Ali Belhadj dipenjarakan. Boudiaf sendiri tewas di tangan Letnan Mohammed Bumaaraf yang berusia 26 tahun. Sejarah terulang, Aljazair tidak pernah lepas dari pemberontakan dan pembunuhan. Ini berbeda jika saja FIS memerintah, karena walaupun mengusung ideologi Islam, FIS tak sekalipun merugikan kepentingan golongan lain.

Kini Aljazair diperintah oleh Abdul Aziz Boetuflika yang juga sekular. FIS sudah tidak tahu lagi kemana di negara ini. Namun pelajaran besar dari FIS adalah jangan pernah menanggalkan identitas sebagai partai Islam walaupun di tengah masyarakat yang sekuler.

Karena, bagaimanapun jahiliyahnya umat Islam di sebuah negara, jauh di lubuk hatinya mereka menginginkan sebuah partai Islam yang benar-benar Islam. Bukan partai Islam 'gadungan' dan dipimpin para pecundang politik, yang bertindak-tanduk hampir tidak ada bedanya dengan partai sekuler, yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan dan berkomplot dengan penguasa sekuler.

Meskipun, akhirnya FIS dibubarkan oleh penguasa militer Aljazair, tapi itu jauh lebih terhormat daripada mengekor kepada kekuasaan sekuler.(sa/berbagaisumber)

~Dari mata turun ke hati~

Dari Mata Turun ke Hati : Awal peristiwa - Dari pandangan mata - Laksana setitik bara api - Saat mata mengembara - Bak jilatan api perlahan pasti - Menerkam semua pemandangan - Merasuk pikiran terbayang-bayang - Hasrat hati mewujudkan impian - Bermain-main mereguk kesenangan - Berbuah gelimang dosa penyesalan.

Aturan Memandang dalam Al Quran dan hadis

Allah swt. dalam Al Quran telah mewanti-wanti, “Katakanlah bagi mukmin (laki-laki) hendaklah menundukkan pandangan mereka dan menjaga kehormatan mereka. Demikian itu lebih bersih bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu perbuat.” “Katakanlah kepada mukmin perempuan, hendaklah menundukkan pandangan mereka dan menjaga kehormatan mereka…” (Q.S. An-Nur 24: 30-31).

“Sesungguhnya Allah telah menetapkan atas diri anak keturunan Adam bagiannya dari zina. Dia mengetahui yang demikian tanpa dipungkiri. Mata itu bisa berzina, dan zinanya adalah pandangan. Lidah itu bisa berzina dan zinanya adalah perkataan. Kaki itu bisa berzina dan zinanya adalah ayunan langkah. Tangan itu bisa berzina dan zinanya adalah sentuhan. Hati bisa berzina dengan keinginan dan angan-angan. Baik kemaluan membenarkan yang demikian itu atau mendustakannya.” (H.R. Bukhari, Muslim, An-Nasai, dan Abu Dawud). “Wahai Ali, janganlah engkau susuli pandangan dengan pandangan lagi, karena yang pertama menjadi bagianmu dan yang kedua bukan lagi menjadi bagianmu (dosa atasmu)” (H.R. Ahmad, Tirmidzi, dan Abu Dawud).

Perintah menjaga pandangan ditujukan pada para wanita. Sebuah hadis menerangkan, “…Ya Rasulullah, bukankah ia buta (Ibnu Ummi Maktum) sehingga tidak mungkin dapat melihat kami? Maka sabda Rasulullah saw. “Bukankah kamu berdua (Ummu Salamah r.a. dan Maimunah bintiaAl-Harits) melihatnya?” (H.R. Abu Daud). “Sesungguhnya memandang (wanita) adalah salah satu panah beracun dari berbagai macam anak panah iblis. Barangsiapa menahan pandangannya dari keindahan-keindahan wanita karena takut pada-Ku, maka Allah mewariskan kelezatan iman di dalam hatinya.” (H.R. Thabrani).

Memanage Pandangan

Q.S. An-Nuur ayat 30 dan 31, memerintahkan kaum mukminin dan mukminat untuk menjaga pandangan atau menundukkan pandangan dan menjaga kemaluannya agar tidak terjerumus pada perbuatan haram.

Menahan pandangan atas hal-hal yang diharamkan Allah swt., disebutkan paling awal, karena menahan pandangan mata merupakan dasar untuk menjaga kemaluan dan cerminan hati yang beriman. Apabila mengumbar pandangan, otomatis mengumbar syahwat hati dan tidak beriman. Segala pandangan yang tidak sengaja dan tiba-tiba, bisa meninggalkan pengaruh dalam hati, sikapi dengan mengalihkan arah pandangan, terlarang mengulangi atau melanjutkan menatap pandangan yang tidak sengaja tadi. Pandangan yang tidak sengaja merupakan bagian dari sekadar ketidaksengajaan, sedangkan pandangan selanjutnya adalah haram dan hukumnya berdosa.

Apabila pandangan itu ditahan sejak awal, maka cara menuntaskannya menjadi lebih mudah. Senantiasa berupaya preventif (mencegah) dan antisipatif (siap siaga) tidak menyengaja mencari-cari dan mencuri-curi kesempatan menatap dalam-dalam, menatap penuh birahi. Pandangan pertama ibarat panah beracun, terlebih-lebih pandangan selanjutnya mengandung racun mematikan. Sedetik Anda lengah maka panah racun iblis akan tertancap dalam hati, memusnahkan benteng iman menjerumuskan pada perzinahan mata, dan zina seluruh pancaindera, baik diwujudkan dengan berhubungan intim ataupun tidak.

Bagi yang telah menikah, maka bila memandang tidak sengaja lawan jenis hendaklah mengendalikan ketertarikan biologisnya dengan menyadari apa yang ada pada diri wanita (pria) lain dengan istri (suami)-nya sama saja, maka selamatlah dorongan birahi yang tidak pada tempatnya.

Menjadi orang yang bermuamalah dengan Allah swt. rido meninggalkan pandangan yang disukai syahwatnya, hatinya kian menjadi tenang. ”Sesungguhnya di dalam tubuh itu ada segumpal darah. Jika ia baik, maka seluruh tubuh akan baik pula dan jika ia rusak maka rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah segumpal darah itu adalah hati.” (H.R. Bukhari dan Muslim).



Pandangan yang Dikecualikan

Syariat membolehkan kaum mukminin untuk memandang lawan jenisnya apabila terdapat keperluan-keperluan tertentu yang tidak mungkin dilakukan kecuali dengan memandangnya, yaitu: memandang saat meminang (aurat tetap terjaga), proses pemeriksaan perkara di pengadilan, dokter yang dapat dipercaya dibolehkan melihat anggota badan wanita yang bukan muhrim pada bagian yang perlu dilihat sebatas usaha pengobatan bila tidak terdapat dokter wanita, dan saat khitan.

Manfaat Menahan Pandangan

Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, manfaat menahan pandangan di antaranya membersihkan hati dari derita penyesalan dosa, mendatangkan cahaya, keceriaan, kegembiraan, kesenangan hati, kenikmatan hidup, mendatangkan kekuatan firasat yang benar (berasal dari zhahir mengikuti sunnah, batinnya merasakan pengawasan Allah swt., menahan mata dari hal-hal yang diharamkan, menahan diri dari syahwat).

Membuka pintu dan memudahkan jalan ilmu, mendatangkan kekuatan, keteguhan, kekuatan hati, membebaskan hati dari tawanan syahwat yang memabukkan, melenakan dan melalaikan, menutup pintu neraka jahanam, cemerlang akalnya tidak hidup gegabah selalu memikirkan akibat di kemudian hari. Sadarlah kita, “Sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (Q.S. Al Hajj 22: 46). Wallahu A’lam.

Berdoalah....


1. Do'a adalah otaknya (sumsum / inti nya) ibadah. (HR. Tirmidzi)

2. Do'a adalah senjata seorang mukmin dan tiang (pilar) agama serta cahaya langit dan bumi. (HR. Abu Ya'la)

3. Akan muncul dalam umat ini suatu kaum yang melampaui batas kewajaran dalam berthaharah dan berdoa. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Penjelasan:
Yakni berdoa atau mohon kepada Allah untuk hal-hal yang tidak mungkin dikabulkan karena berlebih-lebihan atau untuk sesuatu yang tidak halal (haram).

4. Do'a seorang muslim untuk kawannya yang tidak hadir dikabulkan Allah. (HR. Ahmad)

5. Jangan mendo'akan keburukan (mengutuk) dirimu atau anak-anakmu atau pelayan-pelayanmu (karyawan-karyawanmu) atau harta-bendamu, (karena khawatir) saat itu cocok dikabulkan segala permohonan dan terkabul pula do'amu. (Ibnu Khuzaimah)

6. Rasulullah Saw ditanya, "Pada waktu apa do'a (manusia) lebih didengar (oleh Allah)?" Lalu Rasulullah Saw menjawab, "Pada tengah malam dan pada akhir tiap shalat fardhu (sebelum salam)." (Mashabih Assunnah)

7. Do'a yang diucapkan antara azan dan iqomat tidak ditolak (oleh Allah). (HR. Ahmad)

8. Bermohonlah kepada Robbmu di saat kamu senang (bahagia). Sesungguhnya Allah berfirman (hadits Qudsi): "Barangsiapa berdo'a (memohon) kepada-Ku di waktu dia senang (bahagia) maka Aku akan mengabulkan do'anya di waktu dia dalam kesulitan, dan barangsiapa memohon maka Aku kabulkan dan barangsiapa rendah diri kepada-Ku maka aku angkat derajatnya, dan barangsiapa mohon kepada-Ku dengan rendah diri maka Aku merahmatinya dan barangsiapa mohon pengampunanKu maka Aku ampuni dosa-dosanya." (Ar-Rabii')

9. Ada tiga orang yang tidak ditolak do'a mereka: (1) Orang yang berpuasa sampai dia berbuka; (2) Seorang penguasa yang adil; (3) Dan do'a orang yang dizalimi (teraniaya). Do'a mereka diangkat oleh Allah ke atas awan dan dibukakan baginya pintu langit dan Allah bertitah, "Demi keperkasaanKu, Aku akan memenangkanmu (menolongmu) meskipun tidak segera." (HR. Tirmidzi)

10. Barangsiapa tidak (pernah) berdo'a kepada Allah maka Allah murka kepadanya. (HR. Ahmad)

11. Apabila kamu berdo'a janganlah berkata, "Ya Allah, ampunilah aku kalau Engkau menghendaki, rahmatilah aku kalau Engkau menghendaki dan berilah aku rezeki kalau Engkau menghendaki." Hendaklah kamu bermohon dengan kesungguhan hati sebab Allah berbuat segala apa yang dikehendakiNya dan tidak ada paksaan terhadap-Nya. (HR. Bukhari dan Muslim)

12. Hati manusia adalah kandungan rahasia dan sebagian lebih mampu merahasiakan dari yang lain. Bila kamu mohon sesuatu kepada Allah 'Azza wajalla maka mohonlah dengan penuh keyakinan bahwa do'amu akan terkabul. Allah tidak akan mengabulkan do'a orang yang hatinya lalai dan lengah. (HR. Ahmad)

13. Apabila tersisa sepertiga dari malam hari Allah 'Azza wajalla turun ke langit bumi dan berfirman : "Adakah orang yang berdo'a kepadaKu akan Kukabulkan? Adakah orang yang beristighfar kepada-Ku akan Kuampuni dosa- dosanya? Adakah orang yang mohon rezeki kepada-Ku akan Kuberinya rezeki? Adakah orang yang mohon dibebaskan dari kesulitan yang dialaminya akan Kuatasi kesulitan-kesulitannya?" Yang demikian (berlaku) sampai tiba waktu fajar (subuh). (HR. Ahmad)

14. Tidak ada yang lebih utama (mulia) di sisi Allah daripada do'a. (HR. Ahmad)

15. Tiga macam do'a dikabulkan tanpa diragukan lagi, yaitu doa orang yang dizalimi, doa kedua orang tua, dan do'a seorang musafir (yang berpergian untuk maksud dan tujuan baik). (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

16. Sesungguhnya Allah Maha Pemalu dan Maha Murah hati. Allah malu bila ada hambaNya yang menengadahkan tangan (memohon kepada-Nya) lalu dibiarkannya kosong dan kecewa. (HR. Al Hakim)

17. Tiada seorang berdo'a kepada Allah dengan suatu do'a, kecuali dikabulkanNya, dan dia memperoleh salah satu dari tiga hal, yaitu dipercepat terkabulnya baginya di dunia, disimpan (ditabung) untuknya sampai di akhirat, atau diganti dengan mencegahnya dari musibah (bencana) yang serupa. (HR. Ath-Thabrani)

18. Barangsiapa mendo'akan keburukan terhadap orang yang menzaliminya maka dia telah memperoleh kemenangan. (HR. Tirmidzi dan Asysyihaab)

19. Ambillah kesempatan berdo'a ketika hati sedang lemah-lembut karena itu adalah rahmat. (HR.Ad-Dailami)

20. Ali Ra berkata, "Rasulullah Saw lewat ketika aku sedang mengucapkan do'a : "Ya Allah, rahmatilah aku". Lalu beliau menepuk pundakku seraya berkata, "Berdoalah juga untuk umum (kaum muslimin) dan jangan khusus untuk pribadi. Sesungguhnya perbedaan antara doa untuk umum dan khusus adalah seperti bedanya langit dan bumi." (HR. Ad-Dailami)

21. Berlindunglah kepada Allah dari kesengsaraan (akibat) bencana dan dari kesengsaraan hidup yang bersinambungan (silih berganti dan terus-menerus) dan suratan takdir yang buruk dan dari cemoohan lawan-lawan. (HR. Muslim)

22. Tidak ada manfaatnya bersikap siaga dan berhati-hati menghadapi takdir, akan tetapi do'a bermanfaat bagi apa yang diturunkan dan bagi apa yang tidak diturunkan. Oleh karena itu hendaklah kamu berdoa, wahai hamba-hamba Allah. (HR. Ath-Thabrani)

23. Barangsiapa ingin agar do'anya terkabul dan kesulitan-kesulitannya teratasi hendaklah dia menolong orang yang dalam kesempitan. (HR. Ahmad)

Sumber: 1100 Hadits Terpilih (Sinar Ajaran Muhammad) - Dr. Muhammad Faiz Almath - Gema Insani Press

~Indahnya menjemput kematian~


Ada satu kepastian diantara ketidakpastian dalam kehidupan manusia. Dimana secara sadar atau tidak, manusia sesungguhnya menuju kepadanya. Tidak perduli apakah ia siap atau tidak, tua atau muda, cepat atau lambat. Bagi sebagian manusia, ia hanyalah proses alamiah dalam sebuah kehidupan. Menjadi akhir peristirahatan dari segala kegalauan. Bagi sebagian lain ia adalah awal dari sebuah kehidupan. Itulah kematian.

Ibarat sebuah sungai, muaranya merupakan merupakan pintu gerbang samudra. Begitu pula dengan kematian, ia adalah muara bagi pintu gerbang samudra kehidupan yang luas dan kekal. Tiada hal yang membuat Basuki (30) curiga bahwa pada awal November 2002 di Jalan Gatot Subroto, Jakarta lalu merupakan hari terakhirnya merasakan kehidupan setelah sedan yang ditumpanginya ditabrak Panther. Begitu pula dengan seorang jama'ah haji yang pada saat itu bersama penulis sedang menempuh perjalan menuju Madinah. Iapun tidak menyangka bahwa itulah perjalanannya yang terakhir setelah menyelesaikan prosesi haji dan sholat dzuhur hari itu.

Sesungguhnya manusia telah memilih bagaimana akhir kehidupannya. Dan pilihan itu ada pada bagaimana ia menjalani kehidupannya. Sebagaimana ia menjalani kehidupannya seperti itulah kemungkinan besar ia akan menghadapi kematiannya. Karena sesungguhnya dengan menjalani kehidupan berarti kita sedang berjalan menuju kematian kita.

Katakanlah sesungguhnya kematian yang kamu semua melarikan diri darinya itu, pasti akan menemui kamu, kemudian kamu semua akan dikembalikan ke Dzat yang Maha Mengetahui segala yang ghaib serta yang nyata.' (QS. Jum'ah:8).

Orang-orang yang berfikir secara kerdil dan menjatuhkan diri kepada keduniawian akan berlari dengan segala kemampuan yang ada dari kematian. Kematian merupakan momok yang menakutkan yang akan mengambil segala yang telah diusahakan selama hidupnya. Padahal jauh berabad-abad dahulu Rasulullahpun telah mengingakan akan kematian dalam sebuah sabdanya :

Perbanyaklah mengingat-ingat sesuatu yang melenyapkan segala macam kelezatan (kematian). (HR. Tirmidzi)

Sementara manusia-manusia yang cerdas menjadikan kehidupannya bukan hanya sebagai sarana menghadapi dan mempersiapkan kematian namun menjemput kematian melalui seni kematian. Paradigma seni kematian memang masih aneh dalam fikiran masyarakat saat ini. Kematian hanyalah kematian. Bagaimana mungkin sesuatu yang nafsu membenci bertemu dengannya menjadi sesuatu yang jiwa bergairah berjumpa dengannya ? Inilah salah satu ajaran Islam yang agung, mengatur dari hal-hal kecil kehidupan sampai kenegaraan, dari awal memulai kehidupan sampai bagaimana menjemput kematian dalam koridor-Nya.

Bagi orang-orang cerdas ini, kematian adalah panglima nasihat dan guru kehidupan. Sedikit saja ia lengah dari memikirkan kematian maka ia telah kehilangan guru terbaik dalam hidupnya. Inilah yang membuat seorang Sayyid Qutb berkata di tiang gantungan Rezim Pemerintah Gamal Abdun Naser berkata, ''Hiduplah Anda dalam keadaan mulia, atau matilah dalam keadaan mati syahid''.

Seni kematian yang paling indah juga dicontohkan para sahabat dalam membela risalah Islam dalam sepanjang sejarah kehidupan manusia.

Cukuplah kematian itu sebagai penasehat. (HR. Thabrani dan Baihaqi)

Secerdas-cerdasnya manusia ialah yang terbanyak ingatannya kepada kematian serta yang terbanyak persiapannya untuk menghadapi kematian. Mereka itulah orang yang benar-benar cerdas dan mereka akan pergi ke alam baka dengan membawa kemuliaan dunia serta kemuliaan akhirat. (HR. Ibnu Majah)

Sekarang adakah dalam hati kita kematian itu sebagai penasihat terbaik kita dan memulai menata hati, jiwa dan raga untuk menjemput kematian dengan seni kematian yang begitu indah dalam Islam. Semoga, selagi masih ada waktu.

Wallohu a'alam.

-----------------------
Sumber: Menjemput Kematian oleh Abu Saifulhaq Asaduddin - Alhikmah

~Cinta yang buta VS Cinta yang melihat~


Rasa cinta di dalam hati kadang kala membuat kita lupa akan segala hal yang ada dikenyataan kita, kadang pula kita memaknai cinta sebagai hal yang lumrah dan wajar bagi kita. Tetapi pada hakikatnya cinta adalah rahmat dari Allah SWT. dan merupakan salah satu nikmat-Nya yang paling besar bagi diri kita sebagai seorang hamba Allah SWT. oleh karena itu jagalah cinta, jangan sekali-kali engkau nodai cinta yang suci ini wahai Bani Adam. Dan jagalah ia jangan sampai hilang di telan oleh lumpur hidup yang siap menelan kapan saja.

Rasa cinta ada pada hati setiap manusia, hewan, bahkan tumbuhan sekali pun. Seandainya makhluk Allah SWT. selain Bani Adam bisa berbicara mungkin ia akan berkata "Aku mencintaimu", kata cinta ini sungguh sangat fenomenal dan luar biasa efeknya. Dengan kata cinta orang bisa menangis, dengan kata cinta orang bisa bahagia, bahkan karena cinta nyawa pun hilang.

Ketika rasa cinta meresap ke dalam hati yang masuk melalui pori-pori tubuh sehingga buluk kuduk pun berdiri tegak, dikarenakan hebatnya perkataan cinta maka kita pun akan terperana dengan kehebatan kata cinta itu. Itulah fenomena yang terjadi ketike seoarang jatuh cinta.

Orang yang sedang bercinta akan merasakan indahnya dunia ini, sehingga ada jargon "dunia hanya milik berdua", kata-kata ini mungkin bisa dikatakan lucu bagi sebagian orang, karena kata ini mustahil terjadi, tetapi bagi orang yang sedang jatuh cinta maka semuanya bisa terjadi walaupun pada hakikatnya tidak akan terjadi. Hal ini berkaitan langsung dengan jargon "cinta itu buta" kata ini di satu sisi mendukung adanya kata "dunia hanya milik berdua" tapi di sisi yang lain perkataan "cinta itu buta" sebuah ungkapan yang mengarah negatif, artinya kenapa dia mengatakan dunia milik kita berdua? karena dia buta, tetapi buta di sini dalam tanda kutip yaitu buta karena cinta yang semu.

Lalu cinta apakah yang dapat melihat tetapi dunia milik kita bersama? Jawabannya mahabbah fillah (cinta karena Allah).
Inilah konsep cinta yang sesungguhnya, inilah konsep cinta yang kekal, inilah konsep cinta yang abadi, dan inilah konsep yang akan menolong kita dari kengerian hari kiamat. Karena mahabbah fillah adalah salah satu tanda orang yang mendapatkan naungan pada hari kiamat ketika tidak ada naungan kecuali naungan Allah.

Oleh karena itu, kita mencintai sesuatu apapun baik kekasih, guru, sahabat, teman, orang tua, hewan peliharaan dan lain sebagainya hendaknya dikarenakan Allah SWT, agar cinta kita itu di nilai ibadah. Bukan kah niat itu sangat berpengaruh dalam perbuatan kita apalagi kita sebagai manusia yang di ciptakan oleh Allah SWT. untuk beribadah oleh karena itu agar semuanya ibadah diniatkan kerena Allah SWT. inilah yang di sebut dengan mahabbah fillah (cinta karena Allah)

Jikalau cinta sudah di rasuki oleh kata "karena Allah" maka sungguh nikmat dan begitu syahdunya. Apalagi cinta ini dimaksudkan mencintai makhluk Allah SWT. yang sudah barang tentu fana yang tidak kekal, maka kita pun akan berpisah dengan sesuatu yang kita cintai itu karena ada sebuah perkataan "ada pertemuan dan pasti ada perpisahan", tetapi bagi orang yang sudah di rasuki oleh kata "karena Allah" maka ia tidak akan kecewa dan tidak akan menyesal yang berlarut. Cinta yang dikarenakan Allah SWT. akan memegang prinsip "cintailah kekasihmu jangan berlebihan" karena cinta yang hakiki dan yang sebenarnya adalah cinta kepada penciptanya.

Apalagi di tambah dengan kata-kata "dunia milik bersama" , sungguh indahnya muslim, kita di perintahkan untuk saling menasihati dan saling mengingatkan, karena dunia ini milik kita bersama yang menjadi sarana mengumpulkan bekal yang banyak untuk perjalanan yang jauh, lebih jauh lagi dari pada perjalanan mengelilingi jagat ini dengan kecepatan cahaya. Bersyukurlah wahai Muslim dan Muslimah.

Marilah untuk merubah konsepsi kita dari cinta buta yang milik berdua kepada cinta yang melihat yang milik bersama, karena alangkah indahnya saat hati ini melihat dan mengajak bersama-sama untuk menuju surga-Nya Allah SWT. yang kekal dan Abadi.

Wanita Bisu, Tuli, Buta dan Lumpuh Yang Engkau Cintai


Seorang lelaki yang saleh bernama Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di pinggiran kota Kufah. Tiba-tiba dia melihat sebuah apel jatuh ke luar pagar sebuah kebun buah-buahan. Melihat apel yang merah ranum itu tergeletak di tanah terbitlah air liur Tsabit, terlebih-lebih di hari yang sangat panas dan di tengah rasa lapar dan haus yang mendera. Maka tanpa berpikir panjang dipungut dan dimakannyalah buah apel yang terlihat sangat lezat itu. Akan tetapi baru setengahnya di makan dia teringat bahwa buah apel itu bukan miliknya dan dia belum mendapat ijin pemiliknya.

Maka ia segera pergi ke dalam kebun buah-buahan itu dengan maksud hendak menemui pemiliknya agar menghalalkan buah apel yang telah terlanjur dimakannya. Di kebun itu ia bertemu dengan seorang lelaki. Maka langsung saja ia berkata, "Aku sudah memakan setengah dari buah apel ini. Aku berharap Anda menghalalkannya". Orang itu menjawab, "Aku bukan pemilik kebun ini. Aku hanya khadamnya yang ditugaskan merawat dan mengurusi kebunnya".

Dengan nada menyesal Tsabit bertanya lagi, "Dimana rumah pemiliknya? Aku akan menemuinya dan minta agar dihalalkan apel yang telah kumakan ini." Pengurus kebun itu memberitahukan, "Apabila engkau ingin pergi kesana maka engkau harus menempuh perjalanan sehari semalam".

Tsabit bin Ibrahim bertekad akan pergi menemui si pemilik kebun itu. Katanya kepada orangtua itu, "Tidak mengapa. Aku akan tetap pergi menemuinya, meskipun rumahnya jauh. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku karena tanpa seijin pemiliknya. Bukankah Rasulullah Saw sudah memperingatkan kita lewat sabdanya : "Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan api neraka."

Tsabit pergi juga ke rumah pemilik kebun itu, dan setiba disana dia langsung mengetuk pintu. Setelah si pemilik rumah membukakan pintu, Tsabit langsung memberi salam dengan sopan, seraya berkata, "Wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur makan setengah dari buah apel tuan yang jatuh ke luar kebun tuan. Karena itu sudikah tuan menghalalkan apa yang sudah kumakan itu ?" Lelaki tua yang ada di hadapan Tsabit mengamatinya dengan cermat. Lalu dia berkata tiba-tiba, "Tidak, aku tidak bisa menghalalkannya kecuali dengan satu syarat." Tsabit merasa khawatir dengan syarat itu karena takut ia tidak bisa memenuhinya. Maka segera ia bertanya, "Apa syarat itu tuan?" Orang itu menjawab, "Engkau harus mengawini putriku !"

Tsabit bin Ibrahim tidak memahami apa maksud dan tujuan lelaki itu, maka dia berkata, "Apakah karena hanya aku makan setengah buah apelmu yang jatuh ke luar dari kebunmu, aku harus mengawini putrimu ?" Tetapi pemilik kebun itu tidak menggubris pertanyaan Tsabit. Ia malah menambahkan, katanya, "Sebelum pernikahan dimulai engkau harus tahu dulu kekurangan-kekurangan putriku itu. Dia seorang yang buta, bisu, dan tuli. Lebih dari itu ia juga seorang gadis yang lumpuh !"

Tsabit amat terkejut dengan keterangan si pemilik kebun. Dia berpikir dalam hatinya, apakah perempuan semacam itu patut dia persunting sebagai isteri gara-gara ia memakan setengah buah apel yang tidak dihalalkan kepadanya? Kemudian pemilik kebun itu menyatakan lagi, "Selain syarat itu aku tidak bisa menghalalkan apa yang telah kau makan !"

Namun Tsabit kemudian menjawab dengan mantap, "Aku akan menerima pinangannya dan perkawinannya. Aku telah bertekad akan mengadakan transaksi dengan Allah Rabbul 'Alamin. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepadanya karena aku amat berharap Allah selalu meridhaiku dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Ta'ala". Maka pernikahanpun dilaksanakan. Pemilik kebun itu menghadirkan dua saksi yang akan menyaksikan akad nikah mereka. Sesudah perkawinan usai, Tsabit dipersilahkan masuk menemui istrinya. Sewaktu Tsabit hendak masuk kamar pengantin, dia berpikir akan tetap mengucapkan salam walaupun istrinya tuli dan bisu, karena bukankah malaikat Allah yang berkeliaran dalam rumahnya tentu tidak tuli dan bisu juga. Maka iapun mengucapkan salam, "Assalamu'alaikum�."

Tak dinyana sama sekali wanita yang ada dihadapannya dan kini resmi menjadi istrinya itu menjawab salamnya dengan baik. Ketika Tsabit masuk hendak menghampiri wanita itu, dia mengulurkan tangan untuk menyambut tangannya. Sekali lagi Tsabit terkejut karena wanita yang kini menjadi istrinya itu menyambut uluran tangannya.

Tsabit sempat terhentak menyaksikan kenyataan ini. "Kata ayahnya dia wanita tuli dan bisu tetapi ternyata dia menyambut salamnya dengan baik. Jika demikian berarti wanita yang ada di hadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga mengatakan bahwa dia buta dan lumpuh tetapi ternyata dia menyambut kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan tangan dengan mesra pula", kata Tsabit dalam hatinya. Tsabit berpikir mengapa ayahnya menyampaikan berita-berita yang bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya ?

Setelah Tsabit duduk disamping istrinya, dia bertanya, "Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa engkau buta. Mengapa ?" Wanita itu kemudian berkata, "Ayahku benar, karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah". Tsabit bertanya lagi, "Ayahmu juga mengatakan bahwa engkau tuli. Mengapa?" Wanita itu menjawab, "Ayahku benar, karena aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah. Ayahku juga mengatakan kepadamu bahwa aku bisu dan lumpuh, bukan?" tanya wanita itu kepada Tsabit yang kini sah menjadi suaminya. Tsabit mengangguk perlahan mengiyakan pertanyaan istrinya. Selanjutnya wanita itu berkata, "aku dikatakan bisu karena dalam banyak hal aku hanya mengunakan lidahku untuk menyebut asma Allah Ta'ala saja. Aku juga dikatakan lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang bisa menimbulkan kegusaran Allah Ta'ala".

Tsabit amat bahagia mendapatkan istri yang ternyata amat saleh dan wanita yang akan memelihara dirinya dan melindungi hak-haknya sebagai suami dengan baik. Dengan bangga ia berkata tentang istrinya, "Ketika kulihat wajahnya��Subhanallah, dia bagaikan bulan purnama di malam yang gelap".

Tsabit dan istrinya yang salihah dan cantik rupawan itu hidup rukun dan berbahagia. Tidak lama kemudian mereka dikaruniai seorang putra yang ilmunya memancarkan hikmah ke penjuru dunia. Itulah Al Imam Abu Hanifah An Nu'man bin Tsabit.

~Untuk pengemban dakwah~


Saudaraku, Allah SWT berfirman,

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” [An-Nahl: 125]

Dakwah sebagaimana kita ketahui adalah mengajak manusia kepada Allah dengan hikmah dan nasihat yang baik, sehingga mad’u (orang yang diseru) meninggalkan taghut dan beriman hanya kepada Allah yang Maha Esa. Mereka keluar dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya Islam.

Dakwah merupakan poros paling besar dalam agama dan merupakan tugas para nabi dan orang-orang pilihanNya. Andaikan tugas ini ditiadakan, maka akan muncul kerusakan di mana-mana, dan dunia akan menuju kebinasaan. Dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 104, Allah telah berfirman,

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”

Dari ayat tersebut terkandung penjelasan bahwa berdakwah merupakan fardhu kifayah. Jika telah ada sebagian dari umat Islam yang melaksanakan tugas tersebut, maka yang lain terbebas dari kewajiban itu. Namun, meskipun itu fardhu kifayah, jangan sampai kita tidak mengambil peran itu. Sebab, orang-orang yang mengambil peran itu adalah orang-orang pilihan; sebagai penerus para nabi dan rasul.

Pentingnya berdakwah bagi kemaslahatan masyarakat telah digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya. Dari Nu’man bin Basyir RA, dia berkata ” Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Perumpamaan orang-orang yang menggunakan hukum-hukum Allah, berada dalam hukum-hukum itu dan hanya mencari muka karenanya, seperti segolongan umat yang naik perahu. Sebagian golongan dari mereka ada yang menetap di bawah, yang kasar dan paling jelek, sebagian yang lain menetap di atas. Jika orang-orang yang di bawah hendak mengambil air, mereka harus melewati orang-orang yang berada di bagian atas dan mengganggu. Mereka berkata, ”Andaikan saja kita membuat lubang di tempat bagian kita ini agar kita tidak mengganggu orang yang di atas kita.” Jika urusan mereka itu dibiarkan, tentu mereka semua akan binasa. Namun jika mereka dihalangi, tentu mereka semua akan selamat.” [HR. Bukhari, Ahmad, Tirmidzi, dan Baihaqi]

Menurut Muhammad Natsir, dakwah mempunyai dua sisi yang komplementer yaitu membina umat dan memelihara atau membentengi umat dari bahaya batil. Juru dakwah yang unggul tidak menciptakan banyak musuh, melainkan mencari teman sebanyak mungkin. Etika dakwah seperti kesantunan dan keluwesan merupakan hal yang penting untuk mendukung proses pencapaian tujuan dakwah. Ia mengatakan, dai bukanlah seperti seseorang yang membawa landak ke tengah pasar yang badannya penuh duri-duri panjang dan runcing, yang akan menusuk siapa saja yang mendekat.

Tujuan dakwah, adalah keridhaan Ilahi yang memungkinkan tercapainya ‘hidup yang sebenarnya hidup’ yang lebih tinggi mutunya dari hidup manusia. Hidup immaterial sebagai kelanjutan dari hidup materil, hidup yang ukhrawi merupakan puncak kebahagiaan karena bertemu dengan sang Khalik.

Rasulullah berpesan agar kita mengemban tugas berat ini, karena dakwah memiliki keistimewaan. Yaitu pertama, dakwah merupakan tugas pokok para rasul. Para rasul berjuang meluruskan jalan manusia yang sudah tidak sesuai fitrahnya, meluruskan akidahnya, serta mengajak melakukan perbuatan baik dan meninggalkan semua perbuatan buruk. Karena tugas ini sangat berat, maka jangan heran bila para penerusnya akan memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah. Allah SWT berfirman, ”Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.”[Saba': 28]

Dalam Al-Qur’an surat lainnya, Allah SWT juga berfirman, “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan, kamu tidak menyampaikan amanatNya. Allah memelihara kamu dari manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” [Al-Maidah: 67]

Kedua, dakwah merupakan nikmat Allah yang paling besar.

Ketiga, dakwah merupakan sebaik-baik amal. Sebagaimana yang telah difirmankan dalam Al-Qur’an, “Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” [An-Nahl: 97]

Allah SWT akan menganugerahkan kehidupan penuh berkah kepada mereka yang hidupnya digunakan dalam jalan dakwah, menyeru manusia ke jalan Allah. Para juru dakwah akan mendapatkan ridha dan cinta Allah, rahmatNya, ampunanNya, dan pahala yang dilipatgandakan yang tidak akan terputus. Semua anugerah itu diberikan Allah karena para juru dakwah telah mengikuti jalan yang ditempuh Rasulullah SAW. Allah SWT menegaskannya, “Katakanlah : Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Ali Imran: 31]

Keberuntungan yang Allah berikan kepada seorang juru dakwah sangatlah sayang untuk sekedar dilewatkan begitu saja. Takutlah akan siksa Allah bila kita mempunyai kemampuan untuk berdakwah tetapi kita tidak melakukannya. Maka sepantasnya bagi kita untuk menyatukan langkah, menyeru kepada kebaikan, mengajak kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Sungguh, Allah akan memberi pertolongan kepada hamba-hambaNya yang menolong agama Allah dan akan meneguhkan pijakan kaki-kaki mereka di atas dien yang lurus ini. ”Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Muhammad: 7)

Seorang yang mengemban dakwah akan berusaha selalu untuk menyebarkan dan terus-menerus berusaha mengaplikasikan apa yang telah dia pahami. Oleh karena itu, kita mesti membedakan antara pengemban dakwah dengan mufti, orang alim, pemberi nasehat dan guru.

Mufti adalah orang yang bersedia memberikan fatwa, sehingga orang datang kepadanya untuk bertanya tentang hukum syara’ berkenaan dengan aktivitas tertentu yang mereka alami, ataupun yang dialami orang lain.

Orang alim adalah orang yang menjalankan aktivitasnya mengikuti kepada pengetahuannya yang terdapat dalam kitab. Ia tidak akan mudah mengeluarkan fatwa, tetapi apabila ia ditanya persoalan berkenaan dengan masalah tertentu, ia pun akan menjawabnya sebagai satu persoalan, bukan sebagai keputusan hukum tertentu yang berlaku untuk hal tertentu.

Pemberi nasehat adalah orang yang biasa memberi peringatan kepada orang lain tentang akhirat, adzab Allah, surga, hisab, serta memberi nasehat agar mengikuti tingkah laku yang dapat menjamin keselamatan manusia di akhirat dan selamat daripada adzab neraka yang pedih.

Guru adalah orang yang hanya mengajari orang lain tentang berbagai pengetahuan, tanpa memperhatikan realitas, keadaan dan usaha untuk melaksanakannya. Memang, kadangkala dalam diri seseorang telah menyatu sebagian keutamaan yang lain, namun hal itu tetap menjadikan mereka mempunyai gambaran yang khas tentang dirinya. Termasuk apabila ia mempunyai keempat sifat tersebut.

Sedangkan pengemban dakwah, berbeda dengan mereka semua. Sebab, pengemban dakwah adalah ahli siasah yang mengurusi seluruh urusan manusia dengan hukum syara’. Tujuannya adalah mencari ridha Allah SWT. Karena itu, ia tidak mempunyai sifat seperti mufti. Sebab, ia tidak akan mudah mengeluarkan fatwa dan tidak akan membahas perbuatan individu-individu sebagai individu untuk memberikan hukum syara’ berkenaan dengan masalah tersebut. Dia juga tidak mempunyai sifat seperti orang alim. Sebab pekerjaannya bukan mengikuti pengetahuan yang terdapat di dalam buku, meskipun ia senantiasa menelaah berbagai buku untuk mencari pengetahuan. Mengikuti buku bukan pekerjaan dan tujuan utamanya. Sebab mengikuti buku untuk mencari pengetahuan tersebut hanya menjadi salah satu alat untuk melakukan pekerjaannya, yaitu menyelesaikan soal-soal masyarakat dengan segala kebijaksanaan.

Pengemban dakwah juga bukan seperti seorang pemberi nasehat yang mengingatkan orang lain tentang akhirat dan memalingkan mereka dari kehidupan dunia. Tetapi, ia mengurusi urusan mereka dan menyadarkan mereka tentang dunia, agar mereka dapat mengusai dunia mereka sehingga dapat beramal sholeh yang akan memberikan mereka ridha Allah SWT di akhirat kelak. Dia juga bukan seorang seperti guru, meskipun ia mendidik banyak orang dengan pemikiran dan hukum. Sebab mengajarkan pengetahuan saja bukan merupakan tujuan hidupnya, sehingga ia akan berusaha memberikan pemikiran yang senantiasa dapat dikaitkan dengan kenyataan dan keadaannya, yang mana dia selalu berorientasi sebagai aktifitas mengurusi umat dan bukannya hanya sebagai suatu ilmu pengetahuan belaka.

Seorang pengemban dakwah juga tidak akan kenal lelah menegakkan kalimatullah walaupun berbagai tantangan menghalanginya. Mohammad Natsir kembali menguraikan dakwah merupakan kewajiban seorang Muslim yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Beliau juga berkata, “Saya tidak takut masa depan, karena tidak ada bahaya. Masa depan milik umat Islam, jika mereka tetap istiqomah, baik secara pribadi atau kolektif.” Selanjutnya ditegaskannya, “Perjuangan dakwah adalah bekerja dan beramal tanpa pamrih, lebih suka memberi daripada menerima, tidak putus asa bila menemui kegagalan, menjadikan jihad sebagai jalan hidup, syahid di medan juang sebagai cita-cita dan istiqomah.” Wallahu a’lam bis-shawab.

~untuk sahabatku kelak~


Jika kelak Engkau menjadi sahabatku, maka…

Jadikanlah kecintaanmu kepadaNya sebagai penyempurna rasa itu untuk menjadi

Jadikanlah rasa itu karena engkau begitu mencintaiNya

Hingga tiada seorang pun yang sanggup memindahkan Dia dihatimu

Termasuk juga diriku kelak…



Ya Allah betapa besar kuasaMu…

Hingga Engkau ciptakan rasa itu…

Betapa luas nikmat yang Engkau berikan

Betapa hina jika diriku tak mensyukurinya

Hingga Engkau berikan rasa yang begitu indah…



Ya Allah,…

Ku tahu ini adalah anugerahmu…

Dan ku berdo’a Ya Allah…jagalah hati ini hingga tiba masa untuk kami bertemu…

Jagalah hati ini agar tidak lalai kepadaMu

Hingga keridhaanMu lah yang kami tuju…



Aku tidak mengharapkan seorang sahabat yang sempurna..

Namun,

Kecintaanmu kepadaNyalah yang akan membuatmu sempurna di mataku…



Ku tunggu engkau wahai sahabat, jadilah mujahidah sejati…

Pejuang syariah & khilafah…

Pejuang yang hidup dan matinya hanya untuk sebuah kemuliaan….

Yah sebuah kemuliaan…

amin....


“aku mencintai karena agama yang ada padamu, jika agama itu hilang dari dirimu, maka hilanglah cintaku untukmu”


~Adi Victoria~

Menggenapkan “Separuh Dien” untuk Menjadi yang Terkenang di Hati : menjadi ayah dan suami yang ideal

Masih ingatkah kita dengan kata-kata “separuh dien”? Ya kata-kata yang disadur dari hadis nabi, yang sering dijadikan motivasi untuk segera menikah. Tapi sudahkah kita coba menyelami makna dari menggenapkan separuh dien ini?

Saudaraku fillah, perjalanan hidup ini membawa kita dari satu episode ke episode yang lain dalam suatu sinetron yang kita tak tahu kapan ceritanya berakhir. Dalam suatu episode kita dituntut memegang suatu peran dan pada episode yang lain kita diberi peran baru lagi tanpa harus meninggalkan peran yang lama, sehingga semakin lama episode kehidupan yang kita jalani semakin banyak peran yang harus kita lakoni, semakin berat amanah yang harus kita pikul.

Dalam perjalanan hidup kita yang mencoba menggenapkan separuh dien ini, mau tak mau Sang Sutradara akan memberi kita peran baru, bahkan diantara kita ada yang diberi dua peran sekaligus, ya kita pasti tahu peran itu sebagai suami dan ayah atau sebagai istri dan ibu. Memegang satu peran saja tidak mudah apalagi harus menjalani dua peran atau lebih sekaligus. Di saat yang bersamaan kadang2 beberapa peran menuntut loyallitas kita, pada saat itulah skala prioritas menjadi suatu keniscayaan.

Saudaraku fillah, sebagai laki2 menjadi ayah dan suami adalah suatu peran yang tidak bisa kita lepaskan ketika kita memilih episode pernikahan. Kita sering mendengar berapa banyak orang yang gagal memerankan peran ini dengan baik, sehingga selalu saja ada episode perpisahan atau perceraian.

Kadang2 cerita-cerita indah pernikahan yang pernah diidamkan hanya tinggal dongeng2 impian yang tak pernah berwujud kenyataan. Berapa banyak para suami yang mengeluhkan sikap istrinya, dan berapa banyak ayah yang tidak bisa mengerti bagaimana cara menghadapi anaknya. Demikian pula sebaliknya berapa banyak istri yang merasa diperlakukan tidak manusiawi dan anak yang merasa tidak dikasihi.

Dalam sebuah buku yang ditulis oleh seorang pendeta (untuk diambil hikmahnya), dia mengatakan bahwa kadang orang tertipu oleh angan2nya sendiri, dia menganggap bahwa pasangannya akan selalu siap melayani dia, dia menganggap bahwa pasangannya akan berjalan sesuai dengan keinginan dia. Dia lupa bahwa pasangannya itu adalah orang lain, yang punya latar belakang yang berbeda dengan dia, yang punya masa lalu yang berbeda dengan dia, dan yang juga punya keinginan seperti dia.

Oleh karena itu ketika kata “AKU” yang bicara, ketika pikiran “AKU” yang digunakan, dan keinginan “AKU” yang diperturutkan maka sudah pasti bukan keharmonisan yang didapatkan. Sama halnya dalam suatu episode drama, ketika suatu peran merasa dirinya yang paling layak dilihat, dirinya yang paling layak didengar dan hanya dirinya yang paling layak diperhatikan maka kita akan merasa jemu melihat pertunjukan drama itu karena hanya dimainkan oleh satu peran.

Saudaraku fillah, dalam episode “rumah tangga” ini Allah sedang mendidik kita untuk berbagi bukan membagi, untuk mengerti bukan dimengerti, untuk mendengar bukan didengar. Menjadi pendengar, pengertian, emapati adalah peran yang paling sulit dilakukan karena itu berarti harus melakukan dua peran sekaligus, yaitu:menjadi suami dan ayah yang pengertian, suami dan ayah yang pendengar dan suami dan ayah empati.

Apalagi bagi seorang laki2, yang merasa punya superioritas peran sebagai “Qowam”, seakan-akan menjadi suami dan ayah yang mengerti adalah seperti melakukan dua peran sekaligus yang saling bertolak belakang, karena ketika menjadi suami yang “Qowam” seolah-olah dia merasa dialah yang harus didengar, dimengerti dan diperhatikan.

Maka kita harus mendudukkan fungsi “Qowam” pada tempatnya. Ketika kita disuruh menjaga istri dan anak kita dari api neraka seperti perintah Allah dalam At-Tahrim ayat 6, ketika itulah fungsi “Qowam” harus kita mainkan dengan bijaksana. Kenapa harus ditegakkan dengan bijaksana sebab rasul juga memberi peringatan pada kita untuk hati2 ketika meluruskan sikap pada wanita karena wanita itu bagaikan tulang rusuk, kalau dibiarkan tetap bengkok kalo dipaksa bisa patah.

Ketika fungsi “Qowam” tidak dilakukan dengan bijaksana yang terjadi adalah kesewenangan dan pemaksaaan yang berujung pada sikap perlawanan dan pembangkangan. Hal yang sama juga dapat terjadi pada anak. Anak akan jadi pembangkang bila dia didik dengan pemaksaan dan kediktatoran. Sebaliknya Luqman mengajarkan pada kita dalam Al-Qur�an agar mendidik anak dengan persuasif dan argumentatif.

Nabi Ibrahim juga memberi teladan bagaimana dia meminta pendapat anak, berdiskusi dengan anak untuk suatu kewajiban yang diperintahkan Allah. Kita juga dapat meneladani bagaimana Rasulullah SAW juga mengajarkan persamaan derajat hukum dimata Allah kepada Fatimah, dan masih banyak lagi contoh yang bisa kita teladani bagaimana menjadi ayah yang terbaik bagi anak kita.

Saudaraku fillah yang dinginkan Sang Sutradara dari peran kita adalah “qowam” yang melindungi, menyayangi dan yang mau mengerti yang menanggalkan segala atribut “kekuasaan”, “kesewenangan”, dan “keegoisan”. Indah sekali perumpamaan Allah SWT yang diberikan pada kita “kamu bagaikan pakaian bagi mereka dan mereka adalah pakaian bagi kamu”.

Dari ayat ini kita bisa menangkap pesan yang diinginkan Sang Sutradara, bahwa kita dituntut saling melengkapi, saling mengerti, saling menghargai, dan saling bekerja sama, tidak ada yang merasa harus lebih dihargai, lebih dimengerti dan lebih tinggi. Kalau peran yang diminta Sang Sutradara kita jalani maka kita akan merasa saling mencinta, nyaman, aman, dan tenteram dalam menjalani episode “rumah tangga”. Perasaan nyaman, aman, tentreram itu sering kita kenal dengan istilah Sakinah, Mawaddah wa Rahmah.

Saudaraku fillah ketika perasaan sakinah mawaddah wa rahmah itu terjaga dalam hati masing2 pasangan maka jika salah satu pasangan tersebut tiada maka akan dikenang oleh pasangan yang masih hidup. Sebagaimana Rasulullah SAW selalu mengenang Khadijah r.a. walaupun beliau sudah menikah dengan Aisyah yang jauh lebih muda dari Khadijah.

Jadi yang membuat kita terkenang di hati bukan fisik kita tapi pengorbanan kita untuk mau menjadi suami dan ayah yang mau mengerti, mau menyayangi dan empati di mata istri dan anak kita. Semoga Allah memberi kekuatan pada kita untuk menjadi suami dan ayah yang ideal bagi keluarga kita. Amin.

“aku mencintai karena agama yang ada padamu, jika agama itu hilang dari dirimu, maka hilanglah cintaku untukmu”

Kisah nyata : Aku datang Maisya


Ya Allah mudahkanlah…

————————-

Aku telah dilanda keinginan mengebu untuk menikah. Bahkan sudah kujalani semua cara agar cepat bisa melaksanakan sunah Rasul yang satu ini. Malah aku selalu mengimpikannya di tiap malam menjelang tidur.

Gadis yang kuidamkan sejak kecil, bahkan menjadi teman main bersama, ternyata dinikahi orang lain. Padahal dia sudah ngaji. Sedih juga rasanya. Ada juga yang aku dapatkan dari orang yang aku kenal baik, dan sudah kujalani “prosedurnya”. Tapi ternyata kandas karena aku dinilai masih terlalu muda untuk menikah.

Akhirnya , aku kenal dengan seseorang yang sesuai dengan kriteria. Aku mengenalnya dengan perantaraan teman dekatku. Jujur saja, aku telah mendapat biodatanya, juga gambaran wajahnya. Langsung saja kukatakan pada teman dekatku bahwa aku sangat-sangat setuju.

“Eh, ente (kamu) harus ketemu dulu dan tahu dengan baik siapa dia,” kata temanku.

Tapi kujawab enteng, “Tapi ane (aku) langsung sreg kok”.

“Ya sudah, terserah ente aja lah,” sahut temanku sambil geleng-geleng kepala.

Karena aku yakin pacaran jelas-jelas dilarang dalam Islam sebab hal itu adalah jalan menuju zina, aku pun tak menjalaninya. Jangankan zina, hal-hal yang akan mengarahkan kepadanya saja sudah dilarang. Oleh karena itu, aku hanya menunggu waktu kapan ada pembicaraan awal antara aku dan Maisya (akhwat incaranku itu). Sabar deh, sementara ikuti saja seperti air mengalir.

Lewat kurang lebih 2-3 minggu mulailah terjadi pembicaraan antar aku dan Maisya. Ketika kuberanikan diri memulai pada poin yang penting yaitu mengungkapkan niatku untuk menikahinya, apa jawabnya? Aku disuruh menghadap murabbinya (guru/pembimbing).

“Kenapa tidak ke orang tua Maisya saja?” tanyaku.

“Tidak, pokoknya akhi (saudara lelaki) harus ketemu dulu sama Murabbi saya.” jawabnya.

Aku baru tahu, ada seorang akhwat ketika ada yang ingin menikahinya disuruh menghadap Murabbinya, bukan orang tuanya. Padahal, di antara birrul walidain adalah menjadikan orang tua sebagai orang yang pertama kali diajak diskusi tentang pernikahan, bukan gurunya, ustadznya, atau siapa pun. Barulah kutahu itu merupakan kebiasaan akhwat-akhwat tarbiyah (pergerakan).

***

Aku catat alamat murabbi (MR) yang Maisya sebutkan. Pada hari Ahad kuajak 2 teman dekatku untuk menemani ke rumah sang MR. Dengan sedikit kesasar akhirnya sampailah kami di rumahnya. Tapi setelah pencet tombol tiga kali dan “Assalamu’alaikum” tiga kali tak dibuka, kami pun pulang dengan agak kecewa, sebab siang itu adalah jam 2, saat matahari sangat terik menyengat.

Kutelepon Maisya bahwa aku tak bisa ketemu MR-nya. Maisya membolehkanku hanya dengan menelepon MR. Malam itu juga aku pun menelepon dan alhamdulillah nyambung. Aku ditanya segala macam yang berkaitan dengan agama. Dari masalah belajar, kerja, ngaji, tarbiyah, murabbi-ku, ustadz yang sering kuikuti kajiannya, sampai buku-buku yang sering kubaca. Juga, pertanyaan-pertanyaan tambahan lainnya.

Dengan polos dan santai kujawab pertanyaan-pertanyaan itu. Yang membuatku heran, ketika kusebutkan nama ustadz-ustadz yang sering kuikuti kajiannya sampai, nada MR agak beda dari awal pembicaraan. Terutama ketika kusebutkan kitab-kitab yang sering kujadikan rujukan dalam memahami agama. Aku belum tahu kenapa bisa begitu.

Kuceritakan pembicaraan itu pada teman dekatku. Ternyata temanku menjawab dengan nada menyesal.

“Aduh, kenapa tidak bicarakan dulu denganku. Ente tahu? Kalau akan menikahi akhwat tarbiyah sedang ente tidak ikut dalam tarbiyah atau liqa’ tertentu dan punya MR, maka ente otomais akan ditolak. Apalagi ente sebutkan nama-nama ustadz, buku-buku dan para syeikh Timur Tengah, bakalan ditolak deh, itu sudah ma’ruf (populer).”

“Lho kan ane jawab jujur, saat ini ane tidak ikut tarbiyah, atau apa namanya tadi, liqa’? Ya memang aku tak ikut. Ane juga nggak punya MR dong. Oo.., jadi begitu ya?” aku hanya melongo.

***

Beberapa hari kemudian, aku dapat telpon dari Maisya yang menjadikan hatiku sedikit hancur.

“Assalamu’alaikum, akhi saya sudah mempertimbangkan semuanya, mungkin Allah belum menakdirkan kita berjodoh. Semoga kita sama-sama mendapatkan yang terbaik untuk pasangan kita, saya minta maaf, kalau ada kesalahan selama ini, Assalamu’alaikum,”

“Kletuk, nuut nuut nuut” terdengar suara gagang telpon ditutup dan nada sambung terputus.

Aku masih memegang gagang telepon dan hanya bisa melongo mendapat jawaban tersebut. Kutaruh gagang telpon dengan lunglai. “Astagfirullah,” kusebut kata-kata itu berulang kali. Apa yang harus kuperbuat? Tak tahu harus bagaimana. Tapi sohib dekatku yang dari tadi memperhatikanku waktu menelepon nyeletuk .

“Ditolak ya? Udah deh, kan masih banyak harem (wanita) lain, ngapain ngejar-ngejar ngapain ngejar-ngejar yang sudah jelas-jelas nolak.”

Aku jawab saja dengan ketus, “Ane belum nyerah, karena ada janggal dalam pemolakan it, ane belum yakin dia menolak, akan ane coba lagi”.

“Udah deh jangan terlalu PD,” sahut sohibku.

Ternyata bener juga kata temanku itu, jawaban-jawabanku kepada MR menyebabkan aku ditolak oleh Maisya. Aku dipandang beda manhaj dalam memahami Islam, padahal yang kusebutkan waktu menjawab pertanyaan tentang buku-buku rujukan adalah Fathul Majiid, Al-Ushul Al-Tsalatsah, dan kitab-kitab karya Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Syeikh Abdul Aziz bin Baz, Syeikh Muhammad Shalih Utsaimin, yang semuanya aku tahu bahwa mereka selalu mendasarkan bahasannya kepada dalil-dalil yang shahih.

Hatiku sudah terlanjur cocok sama Maisya. Jujur aku sudah merasa sreg sekali kalau Maisya jadi pendamping hidupku. Tapi aku ditolak. “Apa yang harus kuperbuat?” kataku dalam hati. Menyerah kemudian mencari yang lain? Baru begitu saja kok nyerah.

Tanpa sepengetahuan sohibku, kutulis surat ke orangtua Maisya. Yang kutahu bahwa dia hanya punya ibu. Bapaknya sudah meninggal saat Maisya berumur 8 tahun. Kutulis surat yang isinya kurang lebih tentang proses penolakan itu. Juga janjiku jika ditolak oleh ibunya, maka aku akan menerima dan tak akan menghubunginya lagi.

Dengan penuh harap kukirim surat tersebut, tak disangka ternyata surat itu sampai di tangan Maisya dan dibacanya. Alamak, kenapa bisa begitu? Untuk beberapa hari tidak ada respon. Gundah gulana pun datang. Apa yang harus kulakukan?

Kuputuskan untuk mengirim surat ke Maisya langsung. Semuanya aku ungkapkan dengan bahasa setengah resmi tapi santai. Aku memang sedikit ndableg. Di penghujung surat tersebut kukatakan, “Kalau memang Allah takdirkan kita tidak jodoh, saya punya satu permintaan, tolonglah saya untuk mendapatkan pendamping dari teman-teman Maisya yang Maisya pandang pas untuk saya, minimal yang seperti Maisya.”

Kupikir Maisya akan “tersungkur” dengan membaca suratku yang panjang lebar. Aku berpikir seandainya ada orang membaca suratku, pasti akan mengatakan “rayuan gombal!”. Tapi jujur saja, itu berangkat dari hatiku yang paling dalam.

Surat kedua itu, qadarallah ternyata malah diterima dan dibaca oleh ibu Maisya dan kakak perempuannya. Nah, dari situkah terjadi kontak antara aku dan keluarganya. Tak disangka-sangka kudapat telpon dari kakak perempuan Maisya, Kak Dahlia (tentu saja bukan nama asli). Kak Dahlia menelepon dan memintaku untuk datang ke rumahnya guna klarifikasi surat tersebut.

***

Seminggu kemudian kupeniuhi undangan itu. Setelah bertemu dan “sesi tanya-jawab” , dengan manggut-manggut akhirnya Kak Dahlia angkat bicara,

“Baiklah, kakak sudah dengar cerita kamu, saya heran kenapa Maisya menolakmu, ya? Padahal menurut hemat kakak, kamu pantas diterima kok”.

Hatiku berbunga-bunga mendengarnya,. Tapi langsung surut lagi karena pernyataan itu datang dari Kak Dahlia bukan Maisya. Aku sedikit senyum kecut menanggapi omongan kak Dahlia.

“Begini aja deh, kamu sekarang pulang dulu. Biar nanti kakak dan Umi yang akan rayu Maisya. Pokoknya kamu banyak doa aja. Pada dasarnya kami setuju kok sama kamu.”

Aku izin pulang dengan sedikit riang gembira. Mulutku hanya bergumam penuh doa, semoga Allah mengabulkan cita-citaku. Kira-kira 2 minggu setelah itu kudapat telpon lagi dari Kak Dahlia agar aku ke rumahnya. Dia bilang aku harus bertemu langsung dengan Maisya. Hatiku pun berdebar. Dengan sedikit gagap aku iyakan undangan itu. “Besok deh Kak, insyaAllah saya datang,” jawabku.

Aku duduk di kursi ruang tamu yang sama untuk kedua kalinya. Sedikit basa-basi Kak Dahlia mengajakku ngobrol tentang hal-hal yang belum ditanyakan pada pertemuan sebelumya. Kurang lebih 10-15 menit Kak Dahlia memanggil Maisya agar ke ruang tamu menemuiku. Dadaku berdegub. Inilah saatnya aku nadhar (melihat) bagaimana rupa Maisya yang sebenarnya. Apa sama seperti yang kubayangkan sebelumnya? Jangan-jangan tidak sama. Lebih jelek atau bahkan lebih cakep dari aslinya. Tunggu saja deh.

Tidak lama kemudian keluarlah sosok makhluk Allah yang bernama Maisya. Aku tetap menjaga pandanganku. Tapi jujur saja, tak kuasa kucuri pandang untuk yang pertama kalinya. Bahkan seharusnya untuk acara nadhar biasanya lebih dari mencuri pandang, karena memang dianjurkan oleh Rasulullah. Tapi bagiku sangat cukup melihatnya sekali-kali. Aku hanya bisa mengatakan dalam hatiku tentang Maisya, subhanallah! Aku tak bisa ceritakan kepada pembaca karena itu hanya untukku saja.

Tak sadar keringat dingin mengalir dari pelipis. Ada apa gerangan? Kenapa rasanya agak grogi? Ah, aku harus teguh dan tangguh hadapi semua ini. Obrolan pun mulai bergulir. Dari mulai pertanyaan-pertanyaan agama secara umum sampai diskusi tentang kerumahtanggaan. Kurang lebih satu jam aku di rumah itu. Aku pun pamit sambil memberikan hadiah-hadiah buku-buku kecil tentang agama.

Di bus kota aku senyum-senyum sendirian. Seakan-akan bus itu adalah bus patas AC padahal sebenarnya hanya bus ekonomi yang panas dan penuh asap rokok. Tapi semua itu tidak kurasakan. Kuberdoa semoga rayuan Kak Dahlia berhasil.

Ternyata benar, beberapa hari kemudian aku ditelepon Maisya, kali ini menanyakan kelanjutan proses kami kemarin. Kujawab jika dibolehkan akan kuajak keluargaku di waktu yang kutentukan. Di penghujung pembicaraan, Maisya setuju dengan tawaranku.

Kutanya ke sana ke mari tentang barang-barang apa yang pantas dibawa ketika meng-khitbah seorang wanita. Kubeli sebuah koper kecil dan kuisi dengan barang-barang seperti bahan pakaian, komestik, sepatu, dan sebagainya. Tak lupa aku bawakan buah-buahan seadanya. Hal ini sebenarnya sudah kutanyakan kepada Maisya, tapi Maisya hanya menjawab terserah aku mau bawa apa saja pasti dia akan terima. Duh…, senangnya.

Sebelumnya aku lupa, ternyata Maisya masih punya darah Arab dari ibunya. Bahkan, ibunya punya nasab Arab yang dikenal di Indonesia sebagai Habib (Orang Arab yang mengaku punya garis nasab langsung dengan Rasulullah). Padahal setahuku Rasulullah tak punya keturunan laki-laki yang kemudian punya anak. Yang ada hanya Fatimah yang diperistri oleh Ali bin Abi Thalib. Sedangkan dalam Islam, darah nasab hanya sah dari garis bapak atau lelaki. Jadi, mungkin yang dimaksud mereka adalah keturunan dari Ali bin Abi Thalib.

Satu hal yang perlu diketahui, bahwa dalam adat orang Arab terutama golongan Habaib atau Habib, wanita mereka pantang dinikahi oleh non Arab. Bahkan, sebagian mengharamkannya. Alasan yang populer adalah mereka merasa lebih mulia dari keturunan non Arab. Bahkan, sebagian mengharamkannya. Aku pun harus siap dengan apa yang akan aku hadapi nanti. Bisa jadi ditolak atau tidak. Dan yang ada di depan mataku adalah ditolak.

Aku datang sekeluarga dengan naik Taksi. Aku tidak punya mobil. Dari mana aku punya mobil sedangkan aku baru bekerja setahun? Sambutan hambar kudapatkan ketika memasuki ruang tamu. Di situ sudah hadir ibu-ibu yang merupakan keluarga besar dari ibu Maisya. Anehnya,di acara itu tidak hadir laki-laki dari pihak keluarga besar Maisya.

Kemudian acara dilanjutkan dengan saling memberi sambutan. Namun yang kutunggu hanya momen di mana Maisya menerima lamaranku dari mulutnya sendiri. Saat itu pun tiba. Dengan agak malu-malu dan terbata-bata Maisya menerima lamaranku.

Diakhir acara ketika hari penentuan hari “H” dan bentuk acaranya. Ada salah satu dari anggota keluarga Maisya yang menanyakan uang untuk walimah nanti. Aku hanya menjawab bahwa hal itu sudah kubicarakan dengan Maisya. Tapi dia memaksaku untuk menyebutkan jumlahnya. Aku tetap tak mau menyebutkan. Rupanya orang tadi kecewa berat dengan jawabanku.

Setelah acara selesai, aku pamit. Sedikit lega kulalui detik-detik mendebarkan. Aku bersyukur kepada Allah yang meloloskan diriku pada babak berikutnya dalam usaha mengamalkan sunah Rasulullah yang mulia ini.

Ternyata ujian belum selesai juga. Maisya didatangi keluarga besarnya dengan membawa lelaki yang akan dijodohkan dengannya. Lamaranku ditimpa oleh lamaran orang lain. Orang yang akan dijodohkan dengan Maisya masih punya hubungan keluarga. Mereka datang dengan mobil, membawa makanan banyak sekali, uang lamaran, dan juga perhiasan.

Apa yang kubawa kemarin tidak ada apa-apanya dibanding dengan yang dibawa pelamar kedua ini. Tapi subhanallah, apa yang Maisya lakukan? Maisya tak mau menemuinya. Maisya tak menerima lamarannya.

Bahkan setelah rombongan itu pulang dan meninggalkan bawaan mereka sebagai lamaran untuk Maisya, apa yang Maisya lakukan? “Kembalikan semua barang bawaannya dan jangan ada yang menyentuh walau untuk mencicipi makanan, kembalikan dan jangan ada yang tersisa di rumah ini.” Aku dapatkan cerita ini dari kak Dahlia yang meneleponku.

Mendengar semua ini, tak terasa air mataku menetes membasahi pipiku. Padahal aku adalah lelaki yang selama ini selalu berpantang untuk menangis. Saat itulah aku mulai yakin bahwa Maisya harus kudapatkan, sekali pun harus menghadapi hal-hal yang menyakiti hatiku.

***

Beberapa hari kemudian aku mendapat telepon dari seorang ibu yang mengaku bibi Maisya. Ketika kutanya namanya dia tak mau menyebutkan. Malah dia nyerocos panjang lebar tentang acara lamaranku kepada Maisya. Dengan nada sinis dan tinggi dia mulai merayuku untuk membatalkan lamaranku. “Saya kasih tau ya! Kamu kan baru bekerja belum satu tahun, belum punya rumah dan mobil. Sedangkan Juli Jajuli (bukan nama asli) kan sudah punya kerjaan, rumah besar, mobil ada dua. Jadi, kamu batalkan lamaran. Biar Maisya menerima lamaran Jajuli. Kamu kan bisa cari yang lain.”

Hhh! Betapa mendidih mendengar ocehan sinis itu. Tapi aku langsung kontrol diri. Aku jawab dengan suara pelan dan sopan bahwa aku akan terima hal itu dengan ikhlas tanpa ada paksaan dari siapa pun. Sebelum kudengar langsung dari mulut Maisya, aku tak akan pernah membatalkan lamaranku. Gubrakkkk!, terdengar suara gagang telepon dibanting, padahal jawabanku belum selesai.

Suatu hari di tengah kesibukanku, datanglah seorang wanita sekitar umur 25-30 tahun ke kantorku. Tanpa permisi dan sopan santun dia menghampiriku, “Kamu yang melamar Maisya? Kamu tuh ga tahu diri ya? Belum jadi menantu saja sudah belagu,” cerocosnya.

“Mohon tenang dulu, apa masalahnya? Ayo kita duduk dulu di sini jelaskan dengan pelan,” sambutku dengan sabar.

“Kamu tuh kalo ngasih alamat yang jelas, biar mudah dicari, saya sudah muter-muter mencari alamatmu tapi ternyata tidak ketemu-ketemu, apa kamu mau mempermainkan kami?” tukasnya sambil menunjukkan kartu namaku.

“Apa tadi ente tidak tanya sama orang-orang?” tanyaku.

“Tidak!” jawabnya ketus.

“Ya jelas pasti kesasar, seharusnya ente tanya-tanya dong,” sahutku.

“Aaah udah deh jangan banyak alasan,” jawabnya. “Eh aku kasih tau ya, kau tuh jangan pernah macam-macam dengan keturunan Nabi, kuwalat loh!”, ancamnya.

Dengan sedikit senyum kujawab ancamannnya, “Kalo Nabi punya keturunan seperti ente, pasti Nabi akan sangat marah pada ente. Wanita kok pakai celana jeans, kaos ketat, dan tidak berjilbab. Nabi tentu akan malu jika punya keturunan seperti ente.” Wanita itu kabur sambil ngomel-ngomel entah apa yang dia katakan.

Kejadian itu membuat hatuku semakin was-was dan khawatir. Kalau demikian dengkinya mereka dengan pernikahanku bersama Maisya, maka bisa jadi mereka akan lebih jauh lagi dalam memberikan “teror”. Akankah mereka menghalangiku sampai pelaksanaan hari “H”? Wallahu a’lam.

Yang jelas sebelum aku tanda tangan surat nikah yang disediakan penghulu, maka aku belum bisa menentukan bahwa Allah takdirkan aku menikahi Maisya. Semuanya bisa terjadi. Sabarkanlah diriku ya Allah.

Dari telepon pula aku tahu bahwa Maisya sempat disidang oleh keluarga besarnya untuk membatalkan pernikahan denganku. Tapi dia lebih memilih akan kabur dari rumah dan tetap menikah denganku. Padahal keluarganya memberi pilihan: batal nikah atau putus hubungan keluarga.

***

Undangan mulai kucetak. Sederhana sekali karena aku memang tidak punya biaya banyak untuk pernikahan ini. Aku tidak punya saudara di kota tempat Maisya tinggal. Jadi undangan yang banyak hanya untuk keluarga, tetangga, dan kenalan Maisya.

Hari H semakin dekat. Persiapan juga semakin matang. Aku terharu lagi ketika ditanya, “Akhi siapnya ngasih berapa untuk persiapan ini? Tapi jangan merasa berat dan terpaksa, kalau tidak ada ya nggak apa-apa.” Aku hanya bisa tergagap menjawabnya. Ku katakan bahwa aku akan mendapat sumbangan dari kantorku tapi perlu proses untuk cair, jadi sementara aku hanya bisa beri sedikit. Itu pun sudah kupaksakan pinjam ke sana-sini. Tapi Maisya menyambut hal itu dengan tanpa cemberut sedikitpun. Subhanallah.

Panitia pernikahan dari ikhwan sudah aku siapkan. Aku bertekad bahwa pernikahan ini harus seislami mungkin, di antaranya memisahkan antara tamu pria dan wanita walau mungkin akan mendapatkan respon yang bermacam-macam. Aku tak peduli.

Keluarga Maisya pun tak tinggal diam. Di antara mereka ada yang memintaku agar busana Maisya pada saat penikahan nanti adalah busana pengantin pada umumnya. Astaghfirullah, usulan yang sangat berlumuran dosa. Jelas kutolak mentah-mentah.

Ada juga yang nyeletuk agar pernikahan kami dihibur dengan orkes atau musik gambus dan yang sejenisnya. Tapi itu pun aku tolak. Ternyata sampai mendekati hari H pun aku harus beradu urat syaraf dengan mereka.

Tibalah saatnya kegelisahanku yang paling dalam. Aku sedang berpikir bagaimana jadinya jika ada yang mengacaukan pernikahanku. Aku punya seorang saudara marinir. Aku telepon dia dan kuwajibkan datang. Kalau perlu pakai seragam resmi lengkap. Aku akan jadikan dia sebagai pengamanan tambahan. Karena pengamanan Allah lebih kuat, bahkan tidak perlu ada pengamanan tambahan. Itu hanya ikhtiar saja. Malam hari “H” dia datang dan siap menghadiri acara nikah besoknya.

Aku minta bantuan teman lamaku untuk mengantarku pakai Kijang. Teman senior kantorku yang sudah aku anggap orang tuaku juga siap mengantar pakai Panther, bahkan dialah yang akan memberi sambutan dari pihak mempelai pria.

Dengan sedikit gemetar dan mata sedikit basah, aku lalui proses ijab kabul yang sederhana tanpa disertai ritual-ritual yang tidak ada dasarnya seperti sungkem, injak telor, membasuh kaki, dan sebagainya.

Tangisku meledak ketika berdua dengan Maisya untuk pertama kalinya. Tangis makin dahsyat saat aku menghadap ibuku. Kupeluk erat-erat ibuku, kakakku, dan saudara yang mendampingiku.

Subhanallah, aku sudah menjadi seorang suami. Aku menjadi kepala keluarga yang didampingi oleh Maisya yang aku dapatkan dengan “darah dan air mata”. Akhirnya kulalui rumah tangga ini dengan segala bunga rampainya sampai dikaruniai beberapa anak yang lucu-lucu. Semoga dapat aku lalui kehidupan ini dengan diiringi bimbingan dari yang Maha membolak balikkan hati, sehingga hatiku tetap teguh dengan agama-Nya.

Suami Maisya

Diambil dari Buku “Semudah Cinta Di Awal Senja” Terbitan Nikah Media Samara

Sumber: http://maramissetiawan.wordpress.com/2008/06/16/kisah-nyata-aku-datang-maisya/